Aliran Transformasional
Aliran transformasional ini dipelopori oleh Noam Chomsky yang merupakan reaksi dari faham strukturalisme. Konsep strukturalisme yang paling ditentang adalah konsep bahwa bahasa sebagai faktor kebiasaan (habit). Tentang tata bahasa transformasional ini ditulis oleh Chomsky dalam bukunya Syntactic Structure pada tahun 1957, yang kemudian diperkembangkan lagi dalam bukunya yang kedua berjudul Aspect of the Theory of Syntax pada tahun 1965.
Adapun asumsi yang mendasari pendekatan bahasa secara transformasional ini adalah sebagai berikut:
- Bahasa merupakan satu produk kebudayaan yang kreatif manusiawi
- Bahasa bukan merupakan rekaman tingkah laku luar yang berupa bunyi yang dapat didengar, melainkan bahasa merupakan satu proses mentalistik yang kelak kemudian dilahirkan dalam bentuk luar bunyi bahasa yang didengar atau kelak dimanifestasikan dalam bentuk tulis
- Bahasa merupakan satu proses produktif, sehingga metode analisis bahasa harus bersifat deduktif
- Formalisasi matematis dapat juga dikenakan pada formalisasi sistem produktif bahasa
- Analisis bahasa tidak dapat dilepaskan dari hakikat bahasa yang utuh yakni bunyi dan makna.
Menurut Chomsky salah satu tujuan dari penelitian bahasa adalah untuk
menyusun tata bahasa dari bahasa tersebut. Bahasa dapat dianggap sebagai
kumpulan kalimat yang terdiri dari deretan bunyi yang mempunyai makna. Setiap
tata bahasa merupakan teori dari bahasa itu sendiri, dan tata bahasa itu harus
memenuhi dua syarat, yaitu:
- Kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat.
- Tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya ini harus sejajar dengan teori linguistik.
Chomsky membedakan antara kemampuan (competence) dan perbuatan
berbahasa (performance). Dalam tata bahasa transformasional ini
kemampuanlah yang menjadi objeknya, meskipun perbuatan berbahasa juga penting[1].
Competence adalah kemungkinan yang terwaris dan tersimpan dalam otak manusia itu memberikan kemungkinan kepadanya untuk melaksanakan proses berbahasa. Dengan kata lain competence adalah pengetahuan yang dimilki oleh pemakai bahasa mengenai bahasanya. Ia berpendapat bahwa sebenarnya kalimat yang kita dengar dari seorang pembicara bahasa tertentu itu pada umumnya adalah kalimat-kalimat yang baru.
Sedangkan performance merupakan pencerminan dari competence, yang juga dipengaruhi oleh berbagai situasi mental dan lingkungan real seperti keterbatasan ingatan, keteledoran, kecerobohan dan sebagainya. Oleh karena itu, agar performance benar-benar merupakan pencerminan competence atau bunyi dan makna bersesuai dengan kaidah-kaidah competence, maka faktor-faktor ekstralinguistik tersebut sejauh mungkin dihindari. Dengan kata lain dapat kita katakan bahwa performance adalah pemakaian bahasa itu sendiri dalam keadaan yang sebenarnya.
Menurut aliran ini sebuah tata bahasa hendaknya terdiri dari sekelompok kaidah yang tertentu jumlahnya, tetapi dapat menghasilkan kalimat yang tidak terbatas jumlahnya. Seseorang bisa membuat berbagai kalimat yang tidak terbatas jumlahnya dan bisa ia mengerti, yang mana sebagian besar kalimat tersebut barangkali belum pernah diucapkan ataupun didengar. kemampuan tersebut dinamakan aspek kreatif bahasa.
Ahli bahasa yang beraliran transformasional ini antara lain: N. Chpmsky, P. Postal, J.A. Fodor, M. Halle, R. Palmatier, J. Lyons, J.J. Katz, Y.P.B. Allen, P. Van Buren, R.D. King, R.A. Jacobs, J. Green, W.A. Cook (sebelum pindah ke tagmenik), dan lain-lain[2].
Penataan Tata Bahasa Generatif
Analisis tata bahasa generatif bertugas mengungkapkan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami sebanyak mungkin kalimat. Tata bahasa generatif harus menjadi satu sistem kaidah yang dapat secara berulang membangkitkan sejumlah besar struktur. Sistem kaidah ini dapat dianalisis dalam tiga komponen tata bahasa generatif, yaitu:
Competence adalah kemungkinan yang terwaris dan tersimpan dalam otak manusia itu memberikan kemungkinan kepadanya untuk melaksanakan proses berbahasa. Dengan kata lain competence adalah pengetahuan yang dimilki oleh pemakai bahasa mengenai bahasanya. Ia berpendapat bahwa sebenarnya kalimat yang kita dengar dari seorang pembicara bahasa tertentu itu pada umumnya adalah kalimat-kalimat yang baru.
Sedangkan performance merupakan pencerminan dari competence, yang juga dipengaruhi oleh berbagai situasi mental dan lingkungan real seperti keterbatasan ingatan, keteledoran, kecerobohan dan sebagainya. Oleh karena itu, agar performance benar-benar merupakan pencerminan competence atau bunyi dan makna bersesuai dengan kaidah-kaidah competence, maka faktor-faktor ekstralinguistik tersebut sejauh mungkin dihindari. Dengan kata lain dapat kita katakan bahwa performance adalah pemakaian bahasa itu sendiri dalam keadaan yang sebenarnya.
Menurut aliran ini sebuah tata bahasa hendaknya terdiri dari sekelompok kaidah yang tertentu jumlahnya, tetapi dapat menghasilkan kalimat yang tidak terbatas jumlahnya. Seseorang bisa membuat berbagai kalimat yang tidak terbatas jumlahnya dan bisa ia mengerti, yang mana sebagian besar kalimat tersebut barangkali belum pernah diucapkan ataupun didengar. kemampuan tersebut dinamakan aspek kreatif bahasa.
Ahli bahasa yang beraliran transformasional ini antara lain: N. Chpmsky, P. Postal, J.A. Fodor, M. Halle, R. Palmatier, J. Lyons, J.J. Katz, Y.P.B. Allen, P. Van Buren, R.D. King, R.A. Jacobs, J. Green, W.A. Cook (sebelum pindah ke tagmenik), dan lain-lain[2].
Penataan Tata Bahasa Generatif
Analisis tata bahasa generatif bertugas mengungkapkan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami sebanyak mungkin kalimat. Tata bahasa generatif harus menjadi satu sistem kaidah yang dapat secara berulang membangkitkan sejumlah besar struktur. Sistem kaidah ini dapat dianalisis dalam tiga komponen tata bahasa generatif, yaitu:
- Komponen sintaksis mencirikan dan menggambarkan sejumlah tak terbatas struktur terabstrak, yang masing-masing mencakup semua informasi yang ada hubungannya dengan satu interpretasi dari sebuah kalimat tertentu.
- Komponen fonologis menentuksan bentuk fonetik dari sebuah kalimat yang dibangkitkan oleh kaidah sintaksis. Ia menghubungkan sebuah struktur yang dilahirkan oleh komponen sintaksis dengan simbol yang dinyatakan secara fonetis.
- Komponen semantik menentukan interpretasi semantik sebuah kalimat. Komponen fonologis dan komponen semantik merupakan komponen interpretatif.
B. Ciri-ciri Aliran Transformasional
1. Berdasarkan Paham Mentalistik
Aliran
berpendapat bahwa proses berbahasa bukan sekadar proses rangsang-tanggap
semata-mata, akan tetapi justru menonjol sebagai proses kejiwaan. Proses
berbahasa bukan sekadar proses fisik yang berupa bunyi sebagai hasil sumber
getar yang diterima oleh alat auditoris, akan tetapi berupa proses kejiwaan di
dalam diri peserta bicara. Oleh karena itu, aliran ini sangat erat kaitannya
dengen subdisipliner psikolinguistik
2. Bahasa Merupakan Innate
Kaum
transformasi beranggapan penuh bahwa bahasa merupakan faktor innate (warisan
keturunan). Dalam hal ini, untuk membuktikan teorinya Chomsky dengan bantuan
rekannya membuktikan bahwa struktur otak manusia dengan otak simpanse persis
sama, kecuali satu simpul syaraf bicara yang ada pada struktur otak manusia
tidak terdapat pada struktur otak simpanse. Itulah sebabnya simpanse tidak
dapat berbicara seperti manusia, meskipun ia telah dilatih berkali-kali, karena
hal itu tidak disebabkan oleh kebiasaan, akan tetapi harus ada faktor
keturunan.
3. Bahasa Terdiri atas Lapis Dalam dan Lapis Permukaan
Teori
transformasional memisahkan bahasa atas dua lapisan, yakni deep structure
(struktur dalam/ lapis batin) yaitu tempat terjadinya proses berbahasa
yang sesungguhnya/ secara mentalistik; dan surface structure (struktur
luar, struktur lahiriah) yaituwujud lahiriyah yang ditransformasikan dari lapis
batin. Contoh: Welcome, Ahlan wa Sahlan, Selamat datang merupakan tiga unsur
struktur permukaan yang ditransformasikan dari satu struktur dalam yang sama.
4. Bahasa Terdiri atas Unsur Competent dan Performance
Sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas, aliran
transformasional memisahkan bahasa atas unsur competent yaitu pengetahuan yang
dimiliki oleh seorang penutur tentang bahasanya termasuk kaidah-kaidah yang
berlaku bagi bahasanya; dan performance yaitu ketrampilan seseorang dalam
menggunakan bahasa tersebut.
5. Analisis Bahasa Bertolak dari Kalimat
Aliran ini
beranggapan bahwa kalimat merupakan tataran gramatik yang tertingi. Dari
kalimat analisisnya turun ke frasa dan kemudian dari frasa turun kata. Aliran
ini tidak mengakui adanya klausa.
6. Bahasa Bersifat Kreatif
Ciri ini
merupakan reaksi atas anggapan kaum struktural yang fanatik terhadap standar
keumuman. Bagi kaum transformasional yang terpenting adalah kaidah. Walaupun
suatu bentuk kata belum umum asalkan pembentukannya sesuai dengan kaidah yang
berlaku, maka tidak ada halangan untuk mengakuinya sebagai bentuk gramatikal.
Contoh:
a. Sampah telah menggunung di tepi jalan.
kata menggunung
terbentuk dari kata gunung dan prefiks me-ng bermaksud menyerupai gunung
b. Peluhnya menganak sungai, dll
7. Membedakan Kalimat Inti dan Kalimat Transformasi
Aliran ini
membedakan antara kalimat inti dan kalimat transformasional. Kalimat inti
adalah kalimat yang belum dikenai oleh kaidah transformasi, mempunyai ciri-ciri
(a) lengkap, (b) simpel (c) aktif (merupakan ciri pokok), (d) statement
(e)positif (f) runtut (merupakan ciri tambahan).
Secara skematis
dapat digambarkan sebagai berikut:
KALIMAT
INTI
|
KAIDAH
TRANSFORMASI
|
KALIMAT
TRANSFORMASI
|
1. Lengkap
|
Pelepasan/delisi
|
Kalimat elips/ minor
|
2. Simpel
|
Penggabungan
|
Kalimat kompleks
|
3. Aktif
|
Pemasifan
|
Kalimat Pasif
|
4. Statement
|
- Tanya
- Perintah
|
- Kalimat Tanya
- Kalimat Perintah
|
5. Positif
|
Pengingkaran
|
Kalimat Ingkar
|
6. Runtut
|
Pembalikan
|
Kalimat Inversi
|
C. Keunggulan dan Kelemahan Aliran Transformasional
1. Keunggulan Aliran Transformasi
a. Proses berbahasa merupakan proses kejiwaan buakan fisik.
b. Secara tegas memisah pengetahuan kebahasaan dengan keterampilan berbahasa (linguistic
competent dan linguistic performance)
c. Dapat membentuk konstruksi-konstruksi lain secara kreatif berdasarkan
kaidah yang ada.
d. Dengan pembedaan kalimat inti dan transformasi telah dapat dipilah antara
substansi dan perwujudan.
e. dapat menghasilkan kalimat yang tak terhingga banyaknya karena gramatiknya
bersifat generatif.
2. Kelemahan Aliran Transformasi
a. Tidak mengakui eksistensi klausa sehingga tidak dapat memilah konsep klausa
dan kalimat
b. Bahasa merupakan innate walaupun manusia memiliki innate untuk berbahasa
tetapi tanpa dibiasakan atau dilatih mustahil akan bisa.
c. Setiap kebahasaan selalu dikembalikan kepada deep structure
. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan pokok fikiran tata bahasa transformasi sebagai berikut:
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan pokok fikiran tata bahasa transformasi sebagai berikut:
- Tiap penutur bahasa, yang normal memiliki kemampuan (competence) bahasa. Dengan kemampuan ini dia dapat membentuk kalimat-kalimat baru dan memahami kalimat-kalimat yang belum pernah ia dengar
- Tata bahasa adalah seperangkat kalimat. Setiap kalimat terdiri dari sejumlah unsur dasar yang mempunyai struktur tertentu dan tiap kalimat dapat diwujudkan berkali-kali secara teoritis tanpa batas
- Bahasa mengandung struktur lahiriyah dan struktur batiniyah
4. Tata kalimat terdiri dari tiga komponen, yakni:
a. Komponen dasar
b. komponen transformasi
c. Komponen semantik
Linguistik strukturalis berusaha mendiskripsikan suatu
bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Ferdinand de
Saussure (1857 – 1913) dianggap sebagai bapak linguistik modern berdasarkan
pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya Course de Linguistique
Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert
Sechehay tahun 1915. Dalam kaiannya denga bahasa Saussure menegaskan
bahwa bahasa sebenarnya dapat dikaji dengan teori yang mandiri yang disebutnya
“Linguistique”[3]
untuk mengimbangi kajian bahasa melalui disiplin psikologi, filologi, dan
filsafat.
Strukturalisme merupakan arus penting dri pemikiran
Eropa tahun 1960-an. Perhatian utma ditujukan pada penelitian berkaitan dengan
cara dan mekanisme berbahasa yang mencakup tutur kata dan bunyi dalam kaitannya
dengan sejarah, institusi sosial, dan konteks di mana sebuah bahasa berkambang.[4]
Aliran Strukturalis atau Strukturalisme merupakan suatu pendekatan ilmu humanis
yang mencoba untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya, mitologi) sebagai
sistem kompleks yang saling berhubungan. Ferdinand de Saussure (1857-1913)[5]
dianggap sebagai salah satu tokoh penggagas aliran ini, meskipun masih banyak
intelektual Perancis lainnya yang dianggap memberi pengaruh lebih luas. Aliran
ini kemudian diterapkan pula pada bidang lain, seperti sosiologi, antropologi,
psikologi, psikoanalisis , teori sastra dan arsitektur. Ini
menjadikan strukturalisme tidak hanya sebagai sebuah metode, tetapi juga sebuah
gerakan intelektual di Perancis tahun 1960-an.
Menurut Alison
Assiter[6], ada empat ide umum mengenai
strukturalisme sebagai bentuk ‘kecenderungan intelektual’. Pertama,
struktur menentukan posisi setiap elemen dari keseluruhan. Kedua, kaum
strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki struktur. Ketiga, kaum
strukturalis tertarik pada ‘struktural’ hukum yang berhubungan dengan hidup
berdampingan bukan perubahan. Dan terakhir struktur merupakan ‘hal nyata’
yang terletak di bawah permukaan atau memiliki makna tersirat.
Strukturalisme
memiliki berbagai tingkat pengaruh dalam ilmu sosial, dan pengaruh sangat kuat
dapat terlihat di bidang sosiologi. Aliran Strukturalis menyatakan bahwa budaya
manusia harus dipahami sebagai sistem tanda (system of signs). Robert
Scholes mendefinisikannya sebagai reaksi terhadap keterasingan modernis dan
keputusasaan. Para kaum strukturalis berusaha mengembangkan semiologi
(sistem tanda). Ferdinand de Saussure adalah penggagas strukturalisme abad
ke-20, dan bukti tentang hal ini dapat ditemukan dalam Course in
General Linguistics, yang ditulis oleh rekan-rekan Saussure setelah
kematiannya dan berdasarkan catatan para muridnya. Saussure tidak memfokuskan
diri pada penggunaan bahasa (parole, atau ucapan), melainkan pada sistem
yang mendasari bahasa (langue). Teori ini lalu muncul dan disebut
semiologi. Namun, penemuan sistem ini harus terlebih dahulu melalui serangkaian
pemeriksaan parole (ucapan).
Dengan
demikian, Linguistik Struktural sebenarnya bentuk awal dari linguistik korpus
(kuantifikasi). Pendekatan ini berfokus pada bagaimana sesungguhnya
kita dapat mempelajari unsur-unsur bahasa yang terkait satu sama lain
’sinkronis’ daripada ‘diakronis’. Akhirnya, dia menegaskan bahwa
tanda-tanda linguistik terdiri atas dua bagian, sebuah penanda (pola suara dari
sebuah kata, baik dalam proyeksi mental – seperti pada saat kita membaca puisi
untuk diri kita sendiri dalam hati – atau sebenarnya, realisasi fisik sebagai
bagian dari tindak tutur) dan signified (konsep atau arti
kata). Ini sangat berbeda dari pendekatan sebelumnya yang berfokus pada
hubungan antara kata dan hal-hal di dunia dengan referensinya.
3. Ciri-ciri Aliran Struktural
(a) Berlandaskan pada paham behaviourisme. Proses berbahasa merupakan proses
rangsang-tanggap (stimulus-response).
(b) Bahasa berupa
ujaran. Ciri ini menunjukkan bahwa hanya ujaran saja yang termasuk dalam
bahasa. Dalam pengajaran bahasa teori struktural melahirkan metode langsung dengan
pendekatan oral. Tulisan statusnya sejajar dengan gersture.
(c) Bahasa merupakan sistem tanda (signifie dan signifiant) yang arbitrer dan
konvensional. Berkaitan dengan ciri tanda, bahasa pada dasarnya merupakan
paduan dua unsur yaitu signifie dan signifiant. Signifie adalah unsur bahasa
yang berada di balik tanda yang berupa konsep di balik sang penutur atau
disebut juga makna. Sedangkan signifiant adalah wujud fisik atau hanya yang
berupa bunyi ujar.
(d) Bahasa merupakan kebiasaan (habit). Berdasarkan sistem habit, pengajaran
bahasa diterapkan metode drill and practice yakni suatu bentuk latihan yang
terus menerus dan berulang-ulang sehingga membentuk kebiasaan.
(e) Kegramatikalan berdasarkan keumuman.
(f) Level-level gramatikal ditegakkan secara rapi. Level gramatikal mulai
ditegakkan dari level terendah yaitu morfem sampai level tertinggi berupa
kalimat. Urutan tataran gramatikalnya adalah morfem, kata, frase, klausa, dan
kalimat. Tataran di atas kalimat belum terjangkau oleh aliran ini.
(g) Analisis dimulai dari bidang morfologi.
(h) Bahasa merupakan deret sintakmatik dan paradigmatik
(i) Analisis bahasa secara deskriptif.
(j) Analisis struktur bahasa berdasarkan unsur
langsung. Unsur langsung adalah unsur yang secara langsung membentuk struktur
tersebut. Ada empat model analisis unsur langsung yaitu model Nida, model
Hockett, model Nelson, dan model Wells.
4. Keunggulan Aliran Struktural
(a) Aliran ini sukses membedakan konsep grafem dan fonem.
(b) Metode drill and practice membentuk keterampilan berbahasa
berdasarkan kebiasaan
(c) Kriteria kegramatikalan berdasarkan keumuman sehingga mudah diterima
masyrakat awam.
(d) Level kegramatikalan mulai rapi mulai dari morfem, kata, frase, klausa, dan
kalimat.
(e) Berpijak pada fakta, tidak mereka-reka data.
5. Kelemahan Aliran Struktural
(a) Bidang morfologi dan sintaksis dipisahkan secara tegas.
(b) Metode drill and practice sangat memerlukan ketekunan, kesabaran, dang
sangat menjemukan.
(c) Proses berbahasa merupakan proses rangsang-tanggap berlangsung secara fisis
dan mekanis padahal manusia bukan mesin.
(d) Kegramatikalan berdasarkan kriteria keumuman , suatu kaidah yang salah pun
bisa benar jika dianggap umum.
(e) Faktor historis sama sekali tidak diperhitungkan dalam analisis bahasa.
(f) Objek kajian terbatas sampai level kalimat, tidak menyentuh aspek
komunikatif.
6. Pernyataan Pokok Aliran
Strukturalis
Asumsi Saussure yang terkenal dan merupakan dasar kajiannya adalah bahwa
bahasa merupakan realitas sosial. Sebagai realisasi asumsi tersebut, kajian
pertama yang dilakukan Saussure adalah kajian terhadap struktur bahasa. Hal ini
dilakukan karena Saussure menganggap bahwa bahasa sebagai satu struktur sehingga
pendekatannya sering disebut Structural Linguistics. Kedua, Saussure
mengembangkan pikirannya ke dalam enam dikotomi tentang bahasa, yaitu (a)
dikotomi sinkronik dan diakronik, (b) dikotomi bentuk (form) dan substansi, (c)
dikotomi Signifian dan signifie, (d) dikotomi langue dan Parole, (e) dikotomi
individu dan sosial, dan (f) hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik.
Saussure mengistilahkan bahasa-bahasa sebagai fakta-fakta sosial. Fakta
sosial adalah istilah dari pendiri sosiologi, Émile Durkheim, dalam Rules of
Sociological Method (1895),[7] untuk mengacu pada fenomena
gagasan-gagasan dalam ‘minda kolektif’ dalam suatu masyarakat, yaitu yang di
luar fenomena psikologis dan maupun fisikal. Fakta sosial bisa berupa konvensi
dan bisa aturan-aturan. Contoh fakta sosial yang konvensional adalah kecenderungan
orang Amerika mengambil jarak fisik dengan lawan bicara. Contoh fakta sosial
yang berupa aturan-aturan adalah sistem hukum suatu masyarakat. Bahasa bisa
disetarakan dengan sistem hukum atau struktur konvensi. Datanya berupa
fenomena-fenomena fisikal atau parole, sedangkan sistem umumnya adalah langue
atau ‘bahasa’. Data konkret parole diproduksi oleh pengujar-pengujar secara
indivual. Karena penguasaan bahasa setiap orang berbeda-beda, suatu bahasa
tidak pernah lengkap pada diri seseorang; keberadaan lengkapnya secara sempurna
hanya di dalam kolektivitas. Jadi, fakta sosial menurut Saussure bukan berupa
minda kolektif maupun gagasan kolektif seperti yang diterangkan oleh Durkheim.
Akibat perbedaan tersebut, muncul dua pendekatan, yaitu pendekatan
‘individualisme metodologis’ yang berseberangan dengan pendekatan Durkheim
‘kolektivisme metodologis’.
6.1 Sinkronik-Diakronik
Gagasan Saussure dapat dipakai sebagai acuan baru dalam studi bahasa, bahwa
kajian linguistik hendaknya dilakukan secara diakronik dan sinkronik karena
untuk dapat memotret pada suatu waktu tertentu diperlukan pemahaman tentang
bahasa itu untuk satu rentangan waktu. Sebagai pemakai, bahasa dapat ditelaah
dari “keberadaan” bahasa itu sendiri tanpa terikat oleh rentangan waktu yang berbeda.
Kajian diakronik dianggap terlalu sederhana karena hanya mendeskripsikan
peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah, sedangkan kajian sinkronik dipandang
lebih rumit karena harus mendeskripsikan bahasa itu sendiri.
6.1.1 Sinkronik
Kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti dengan,
dan khronos yang berarti waktu, masa. Dengan demikian, linguistik
sinkronis mempelajari bahasa sezaman. Fakta dan data bahasa adalah rekaman yang
diujarkan oleh pembicara, atau bersifat horisontal. Linguistik sinkronis adalah
mempelajari bahasa pada suatu kurun waktu tertentu, misalnya mempelajari bahasa
Indonesia di masa reformasi saja.
Saussure mengemukakan bahwa kajian bahasa secara sinkronis amat perlu,
meskipun beliau banyak berkecimpung dalam kajian diakronis. Baginya, kajian
sinkronis bahasa mengandung kesistematisan tinggi, sedangkan kajian diakronis
tidak. Bagi penggunanya, sejarah bahasa tidak memberikan apa-apa kepada
pengguna bahasa mengenai cara penggunaan bahasa. Ada yang perlu bagi pengguna
bahasa, yaitu état de langue atau suatu keadaan bahasa. Suatu keadaan
bahasa terbebas dari dimensi waktu dalam bahasa yang justru memiliki watak
kesistematisan.
Kajian sinkronis justru lebih serius dan sulit. Sistem keadaan bahasa
‘sinkronik’ seperti sistem permainan catur. Setiap buah catur (setara dengan
suatu unit bahasa) memiliki tempat tersendiri dan memiliki keterkaitan tertentu
dengan buah catur lain, dan kekuatan serta pola gerak/jalan tersendiri.
Suatu keadaan bahasa (État de langue) adalah jaringan keterkaitan
yang menentukan nilai suatu elemen benar-benar tergantung, langsung atau tak
langsung pada nilai elemen-elemen yang lain.
6.1.2 Diakronik
Kata diakronis berasal dari bahasa Yunani, dia yang berarti melalui,
dan khronos yang berarti waktu, masa. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan linguistik diakronis adalah subdisiplin linguistik yang menyelidiki
perkembangan suatu bahasa dari masa ke masa. Linguistik diakronis adalah
semua yang memiliki ciri evolusi. Ada berbagai contoh untuk melukiskan dualisme
intern (sinkronis dan diakronis),
(a) Kata Latin “cripus”
(berombak, bergelombang, keriting), menimbulkan kata dasar Perancis crép-, yang
membentuk kata kerja crépir ‘melepa’, dan décrépir, ‘mengupas lepa’. Pada suatu
waktu, bahasa Perancis meminjam kata Latin décrepitus, ‘usang karena usia’,
untuk membentuk décrépit; tetapi ternyata orang melupakan asal kata ini.
(b) Bupati dari kata Sansekerta bhu
= bumi atau tanah dan kata Sansekerta patti = kepala atau penguasa
sehingga bupati berarti kepala tanah, penguasa tanah, tuan tanah, kepala daerah
(c) Kalkulasi: dari kata bahasa Latin Calculus
= kerikil atau batu kecil, batu kecil untuk menghitung. Dahulu orang menghitung
dengan menggunakan krikil kemudian berkembang menjadi sipoa atau sempoa dan
yang paling modern orang menghitung dengan menggunakan kalkulator. Jadi,
kalkulasi, kalkulator dilihat secara diakronis merupakan kata yang latin
calculus yang mengalamai evolusi.
Jika seseorang hanya melihat sisi diakronis bahasa, maka yang ia lihat
bukan lagi langue, melainkan sederet “peristiwa” yang notabene merupakan
parole. Linguistik diakronis akan menelaah hubungan-hubungan di antara
unsur-unsur yang berturutan dan tidak dilihat oleh kesadaran kolektif yang
sama, dan yang satu menggantikan yang lain tanpa membentuk sistem di antara
mereka. Sebaliknya, linguistik sinkronis akan mengurusi hubungan-hubungan logis
dan psikologis yang menghubungkan unsur-unsur yang hadir bersama dan membentuk
sistem, seperti dilihat dalam kesadaran kolektif yang sama.
6.2 Bentuk-substansi
Dikotomi antara bentuk dengan substansi, Saussure menekankan bahwa kajian
linguistik harus ditinjau dari segi bentuk dan substansi. Bagi Saussure,
substansi penting, namun bentuk lebih penting. Oleh karena itu, dalam kajian
bahasa, nilai suatu unsur (langsung atau tidak langsung) sangat bergantung pada
nilai unsur lain.
6.3 Signifie-signifiant
Bahasa adalah alat komunikasi di dalam masyarakat yang menggunakan sistem
tanda yang maknanya dipahami secara konvensional oleh anggota masyaraat
bahasa tersebut. Tanda bahasa terdiri atas dua unsur yang tak terpisahkan yaitu
unsur citra akustik (bentuk) (signifiant/petanda) dan unsur konsep
(signifie)/penanda). Hubungan kedua unsur ini didasari konvensi dalam
kehidupan sosial. Kedua unsur ini terdapat di dalam pikiran atau kognisi
pemakai bahasa.
Saussure berpendapat bahwa bahasa meliputi suatu himpunan tanda satu
lambang yang berupa menyatunya signifiant (signifier, bagian bunyi ujaran)
dengan signifie (signified, bagian makna). Kedua bagian itu tidak dapat
dipisahkan karena ujaran dan makna ditentukan oleh adanya kontras terhadap
lambang-lambang lain dari sistem itu. Bahasa tanpa suatu sistem tidak akan ada
dasar yang dapat dipergunakan untuk membedakan bunyi-bunyi yang ada ataupun
konsep-konsep yang ada.
6.3.1 Signifie
Signifie merupakan kandungan mental atau citra mental suatu bahasa. Yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah makna suatu bahasa. Signifie (penanda)
merupakan pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Setiap tanda
tidak dapat dipisahkan dari tanda yang lain karena baik lafal maupun maknanya
dipahami atas perbedaanya dari yang lain.
Dari segi mental, bahasa merupakan suatu totalitas pikiran dalam jiwa
manusia. Dari segi fisik, bahasa adalah getaran udara yang lewat suatu tabung
dalam alat bicara manusia. Jadi, bahasa merupakan pertemuan antara totalitas
pikiran dalam jiwa dan getaran yang dibuat manusia melalui alat-alat bicaranya.
Misalnya gambar meja dilambangkan dengan meja (Indonesia), table (Inggris),
Mensa (Latin).
Apabila ada orang berujar meja dan kita mendengar rentetan bunyi /m, e, j,
a/ itulah yang disebut signifiant, sedangkan bayangan kita terhadap sebuah meja
disebut signifienya, yaitu sebuah prabot rumah tangga/kantor berkaki,
permukaannya datar, bisa berbentuk bundar, atau bersegi, dan deskripsi lainnya
tentang meja.
6.3.2 Signifiant
Bahasa adalah sistem lambang dan lambang itu sendiri adalah kombinasi
antara bentuk (signifiant) dan arti (signifie). Signifiant merupakan bentuk
bahasa yang terkandung dalam sekumpulan fonem. Signifiant juga sebagai
perwujudan akustik suatu bahasa atau wujud dasar sistem fonologi suatu bahasa.
Jadi, signifiant (penanda) merupakan citra bunyi atau kesan psikologis bunyi
yang timbul dalam pikiran kita.
6.4 Individu-sosial
Dikotomi antara individu dan sosial, Saussure mengatakan bahwa perilaku
berbahasa anggota masyarakat sangat ditentukan oleh kelompoknya, meskipun ciri
perilaku berbahasa masing-masing anggota berbeda antara satu dan lainnya.
Perbedaan perilaku individu tidak akan menyimpang dari perilaku kolektif yang
ada pada kelompok.
6.5 Langue-parole
Dikotomi antara langue dan parole dan dikotomi antara sintakmatik dan
paradigmatik sebagai bukti bahwa bahasa merupakan realitas sosial. Sebagai realitas sosial bahasa sangat terikat oleh collective
mind bukan individual mind. Sebagai collective mind, bahasa
merupakan perpaduan antara parole dan langue. Parole mengacu pada tindak ujar
dalam situasi yang sesungguhnya oleh masing masing individu. Langue ialah
sistem bahasa yang dipakai secara bersama-sama oleh masyarakat penuturnya.
Gagasan
Saussure tentang fakta sosial, langue, dan parole, menjadi pilar-pilar
konsepnya mengenai struktur gagasan yang amat kontroversial. Para bahasawan
tertarik berkomentar. Pendekatan Saussure kembali mengemuka ketika dihadapkan
pada pandangan Noam Chomsky. Pandangan Chomsky (1964) yang amat berpengaruh
adalah yang membedakan kompetence dari performance. Pembedaan tersebut tampak
ada kemiripan dengan pembedaan langue dan parole oleh Saussure. Bahkan, Chomsky
sendiri menyamakan konsep linguistic competence yang diperkenalkannya dengan
konsep langue. Namun, sesungguhnya kedua konsep tersebut berbeda.
Konsep langue
dan parole menyisakan masalah besar dalam sintaksis. Meskipun tidak disebut
dalam bukunya, unit-unit (abstrak) yang bermakna sepeti morfem dapat dimasukkan
ke dalam langue, masuk dalam sistem, disediakan untuk dipakai dengan jumlah
terbatas. Morfem disediakan dalam langue dan dapat digunakan untuk membedakan
suatu morfem dengan morfem yang lain. Sintaksis juga unit abstrak bermakna.
Kita perlu membedakan dan memilih sintaksis satu dari sintaksis yang lain
ketika hendak berkomunikasi. Bedanya dari morfem adalah bahwa jumlah struktur
kalimat – sintaksis – tidak terbatas dan bisa terus bertambah. Jika demikian,
sintaksis tidak masuk dalam langue, melainkan dalam parole.
6.5.1 Langue
Langue mengacu
pada sistem bahasa yang abstrak. Sistem ini mendasari semua ujaran dari setiap
individu. Langue bukanlah suatu ujaran yang terdengar, tulisan yang terbaca,
melainkan suatu sistem peraturan yang umum dan mendasari semua ujaran nyata.
Langue adalah totalitas dari sekumpulan fakta bahasa yang disimpulkan dari
ingatan pemakai bahasa dan merupakan gudang kebahasaan yang ada dalam otak
setiap individu.
Saussure
mengatakan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh
secara pasif yang diajarkan dalam masyarakat bahasa dan memungkinkan para
penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan
masyarakat. Langue adalah pengetahuan dan kemampuan berbahasa yang bersifat
kolektif dan dihayati bersama oleh semua warga masyarakat. Langue bersenyawa
dengan kehidupan masyarakat secara alami. Eksistensi langue memungkinkan adanya
parole merujuk pada cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengekspresikan
dirinya. Jadi, masyarakat merupakan pihak pelestari langue.
Dalam langue terdapat
batas-batas negatif (misalnya, tunduk pada kaidah-kaidah bahasa, solidaritas,
asosiatif dan sintagmatif) terhadap apa yang harus dikatakannya apabila
seseorang mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal. Langue merupakan
sejenis kode, suatu aljabar atau sistem nilai yang murni. Langue adalah
perangkat konvensi yang kita terima, siap pakai, dari penutur-penutur
terdahulu. Langue telah dan dapat diteliti; langue juga bersifat konkret karena
merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Tanda bahasa
tersebut dapat menjadi lambang tulisan yang konvensional.
Langue tidak
bisa dipisahkan antara bunyi dan gerak mulut. Langue juga dapat berupa
lambang-lambang bahasa konkret; tulisan-tulisan yang terindera dan teraba
(terutama bagi tuna runggu). Langue adalah suatu sistem tanda yang
mengungkapkan gagasan. Contoh: Pergi! Dalam kata ini, gagasan kita adalah ingin
mengusir, menyuruh, Nah, kata pergi! dapat juga kita ungkapkan kepada tuna
runggu dengan abjad tuna runggu, atau dengan simbol atau dengan tanda-tanda
militer.
Langue seperti
permainan catur, apabila buah caturnya dikurangi akan berubah dan bahkan
permainan akan kacau, demikian halnya dalam langue. Jika struktur (sistem) kita ubah,
maka akan kacau balau juga. Misalnya: saya makan nasi, jika kalimat ini diubah
menjadi: nasi makan saya, kelihatannya kalimat tersebut, janggal.
Langue perlu agar parole dapat saling dipahami; dan parole perlu agar
langue terbentuk. Dengan kata lain, secara historis, fakta parole selalu
mendahului langue. Bunyi kata: “pergi!” adalah parole, tetapi ia juga termasuk
langue karena sistem tanda ada di sana dan maknanya pun ada. Langue hadir
secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang tersimpan di dalam setiap otak;
kira-kira seperti kamus yang eksemplarnya identik (fotocopy), yang akan terbagi
di kalangan individu. Jadi, langue adalah sesuatu yang ada pada setiap
individu.
Langue bersifat kolektif: bersifat homogen, bahasan konvensional. Rumusnya:
1 + 1 + 1 + 1….= 1. Artinya, kata yang diucapkan oleh individu, diucapkan
secara sama oleh orang banyak, begitu juga dengan maknanya, semua masyarakat
bahasa tahu. Menurut Alwasilah[8], langue adalah tata bahasa + kosakata
+ sistem pengucapan. Langue bersifat stabil dan sistematis.
Terbentuknya langue juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya:
penjajahan (bahasa) Penjajah mempengaruhi bahasa yang dijajah). Lebih jauh
Saussure berpendapat bahwa langue diterima dengan pasif, tanpa memperkarakan
dari mana langue tersebut berasal. Misalnya, kata “pinjam”: kita tidak perlu
mengetahui dari mana kata ini berkembang dan kita tidak perlu tahu dari bangsa
(suku) mana asalnya. Kata “pinjam” ini diketahui oleh semua masyarakat bahasa.
Walaupun kita tidak tahu dari mana asalnya, toh tidak menghambat kita untuk
mempelajarinya. Harus diingat bahwa langue berubah, tetapi para penutur tidak
mungkin mengubahnya; atau langue tertutup bagi interferensi, tetapi terbuka
bagi perkembangan. Tanda-tanda yang membentuk langue bukan benda abstraksi,
melainkan benda konkret. Contoh: pohon (yang konkret, ada batangnya, bisa kita
lihat) dan “pohon” yang lain adalah bahasa yang terbentuk yang kita ucapkan,
kita artikulasikan. Wujud bahasa hanya ada karena ada kerjasama antara penanda
dan petanda. Dalam langue, sebuah konsep adalah kualitas dari substansi bunyi
seperti suara tertentu merupakan kualitas dari konsep. Maka, konsep rumah,
putih, melihat, merupakan bagian dari psikologi. Konsep itu hanya menjadi wujud
bahasa jika diasosiasikan dengan gambar akustik (bisa dalam bentuk tulisan juga
dalam bentuk bunyi).
6.5.2 Parole
Parole adalah bahasa tuturan, bahasa sehari-hari[9]. Intinya, parole adalah
keseluruhan dari apa yang diajarkan orang, termasuk konstruksi-konstruksi
individu yang muncul dari pilihan penutur dan pengucapan-pengucapan yang
diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi ini berdasarkan pilihan
bebas juga. Parole adalah perwujudan langue pada individu. Parole merupakan
manifestasi individu dari bahasa. Parole bukan fakta sosial karena seluruhnya
merupakan hasil individu yang sadar, termasuk kata apapun yang diucapkan oleh penutur;
ia juga bersifat heterogen dan tak dapat diteliti. Dalam parole harus dibedakan
unsur-unsur berikut.
Pertama, kombinasi-kombinasi kode bahasa (tanda baca) yang dipergunakan
penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya. Misalnya, perang, kataku,
perang! Kalimat ini jika diucapkan oleh orang yang sama pun, kata Saussure, ia
menyampaikan dua hal yang berbeda pada pelafalan (kata perang pertama
dilafalkan secara berbeda dengan kata perang kedua). Kedua, mekanisme
psikis-fisik yang memungkinkan seseorang mengungkapkan kombinasi-kombinasi
tersebut. Parolelah yang membuat langue berubah: kesan-kesan yang kita tangkap
pada saat kita mendengar orang lainlah yang mengubah kebiasaan bahasa kita.
Jadi, antara langue dan parole saling terkait; langue sekaligus alat dan produk
parole. Bersifat individu: semua perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen
dan merupakan perilaku pribadi. Parole dapat dirumuskan: (1’ + 1’’ + 1’’’ +
1’’’’…..). artinya, kata yang sama pun akan dilafalkan secara berbeda, baik
orang yang sama maupun oleh banyak orang.
6.6 Sintakmatik-paradigmatik
Selanjutnya, hubungan paradigmatik merupakan hubungan yang menyatakan
adanya kemampuan mengganti unsur dalam suatu lingkungan yang sama, sedangkan
hubungan sintakmatik adalah hubungan yang menyatakan adanya kemampuan
mengombinasikan ke dalam konstruksi yang lebih besar.
Bagi Saussure bahasa menggunakan tanda yang dimaknai secara konvensional.
Tanda-tanda bahasa itu disusun dalam rangkaian yang disebutnya rangkaian
sintagmatik. Dalam hal ini tanda bahasa ada dalam rangkaian sintakmatik yaitu
rangkaian tanda yang berada dalam ruang dan waktu yang sama atau relasi in
praesenstia.
6.6.1 Sintakmatik (Horizontal)
Hubungan sintakmatik adalah
hubungan yang diperoleh jika satuan-satuan diletakkan bersama dalam satu tindak
bicara. Unit-unit kebahasaan dapat digabungkan menjadi bangun yang lebih
panjang.
Contoh. Budi menendang bola adalah deretan Budià menendangàbola. Urutan
ketiga kata ini bukan bersifat manasuka tanpa berpatokan pada kaidah
(langue) bahasa Idonesia. Arah panah pada contoh tidak hanya
memperlihatkan urutan (bahasa yang linear) tetapi hubungan sintaksis
subjek—predikatà objek. Meskipun urutan itu
diubah, fungsi gramatikal tetap misalnya BolaàBudià tendang;
Tendangà bolaàBudi. Terlihat di sini bahwa fungsi gramatikal
bahasa tidak selalu terikat pada aspek linearitas. Kata-kata dalam sebuah
bahasa berada dalam relasi sintagmatik tersusun dalam sebuah struktur.
Pada kalimat Budi menendang bola terbentuk dari unsur Budi,
menendang, bola yang masing-masing menempati ruang kosong yang
kemudian disebut gatra. Kaidah (langue) bahasa Indonesia gatra dapat diisi
dengan unsur bahasa tertentu saja. Jadi, gatra adalah ruang kosong yang
terdapat sebelum, di tengah, dan sesudah panah. Pada contoh kita
sebut gatra [1] à [2] à [3]. Dalam sintaksis [1], [2], [3] disebut fungsi
sintaksis dan dalam hal ini setiap fungsi itu dapat diisi oleh kata tertentu
sesuai dengan kaidah. Dalam contoh yang sama Budià menendangà bola, gatra
[1] yang diisi Budi bisa diisi Ali, Candra, Damar, Dia, Mereka, Adik, dll.
Tetapi kata-kata itu tidak dapat berada di ruang dan waktu yang sama. Kata-kata
itu hanya bisa diasosiasikan secara in absentia. Hubungan
itu dikatakan hubungan asosiatif atau kata-kata itu berada dalam relasi
asosiatif. Kata-kata yang mengisi gatra tergolong kata sejenis atau
disebut berada dalam paradigma yang sama. Hal yag sama bisa berlaku untuk kata menendang
bisa diisi kata mengambil, melempar, menyembunyikan, membuang; bola bisa
isi dengan kata batu, kelapa, piring. Relasi asosiatif ini kemudian disebut
relasi paradigmatik. Pada tataran langue stiap penutur bahasa
menguasai semacam piranti atau jejaring unsur-unsur bahasa yang
tergolong-golong dalam paradigma dan unsur-unsur itu saling membedakan.
Jejaring inilah ang disebut sebagai sistem bahasa.
6.6.2 Paradigmatik (vertikal)
Hubungan paradigmatik adalah hubungan
derivatif atau inflektif serangkaian bentuk jadian dengan bentuk dasar dari
unit bahasa. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antarelemen yang dapat
saling menggantikan dalam slot yang sama dalam struktur kebahasaan, seperti
yang tampak pada matriks dibawah ini.
Budi (S)
|
Menendang (P)
|
Bola (O)
|
|||
S
|
Ali
|
P
|
memotong
|
O
|
kayu
|
S
|
Candra
|
P
|
memukul
|
O
|
kucing
|
S
|
Damar
|
P
|
menendang
|
O
|
Batu
|
S
|
Dia
|
P
|
mengambil
|
O
|
roti
|
S
|
Mereka
|
P
|
melempar
|
O
|
mangga
|
S
|
Ibu
|
P
|
menjahit
|
O
|
baju
|
S
|
......
|
P
|
.......
|
O
|
......
|
7. Aliran Lain yang
mengembangkan Konsep Struktural
Pendekatan ini juga diikuti oleh
sarjana-sarjana pada dekade berikutnya, seperti Franz Boas (1858–1942) sarjana
Antropologi Amerika kelahiran Jerman; Edward Sapir (1884 – 1939) sarjana
Antropologi dan Linguistik; dan Leornard Bloomfield (1887 – 1949) sarjana
Linguistik yang akhirnya tergabung dalam aliran linguistik struktural. Para
sarjana tersebut mengembangkan kajian bahasa pada bahasa lain yang belum pernah
diselidiki sebelumnya, bahkan mengembangkannya dengan membentuk aliran-aliran
baru dalam kajian linguistik. Aliran yang berafiliasi pada aliran stuktural ini
antara lain
Aliran Praha
Aliran praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu
Vilem Mathesius (1882 – 1945). Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah yang
pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik
mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari fungsi
bunyi tersebut dalam suatu sistem. Sumbangan aliran ini dalam dalam bidang fonologis
(mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem) dan bidang sintaksis
dengan menelaah kalimat melalui pendekatan fungsional.
Aliran Glosematik
Aliran Glosematik lahir di Denmark, tokohnya antara
lain : Louis Hjemslev (1899 – 1965), yang meneruskan ajaran Ferdinand de
Saussure. Hjemslev juga menganggap bahasa sebagai suatu sistem hubungan, dan
mengakui adanya hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik. Namanya menjadi
terkenal karena usahanya untuk membuat ilmu bahasa menjadi ilmu yang berdiri
sendiri, bebas dari ilmu lain, dengan peralatan, metodologis, dan terminologis
sendirian.
Aliran Firthian
Aliran firthian, nama John R. Firth (1890 – 1960) guru
besar pada Universitas London sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi
prosodi. Karena itulah, aliran yang dikembangkannya dikenal dengan nama aliran
Prosodi. Nama John R. Firth terkenal karena teorinya mengenai fonologi
prosodi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran
fonetis.
Linguistik Sistemik (Sistemic Linguistics)
Aliran linguistik sistemik tidak dapat dilepaskan dari
nama M.A.K Halliday, yaitu salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori
Firth mengenai bahasa, khususnya yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan
bahasa. Sebagai penerus Firth dan berdasarkan karangannya Categories of the
Theory of Grammar, maka teori yang dikembangkan oleh Halliday dikenal
dengan nama Neo-Firthian Linguistics atau Scals and Category
Linguistics. Namun kemudian ada nama baru, yaitu Systemic Linguistics
(SL). Pokok pandangan aliran ini adalah: (1) SL memberikan perhatian penuh pada
segi kemasyarakatan bahasa (2) SL memandang bahasa sebagai pelaksana (3) SL
mengutamakan pemerian ciri-ciri bahasa tertentu beserta variasinya (4)SL
mengenal adanya gradasi/kontinum (5)SL menggambarkan tiga tataran utama bahasa.
Aliran Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika
Faktor yang menyebabkan berkembangnya aliran
strukturalisme ini (1) masa itu para linguis di Amerika menghadapi masalah yang
sama, yaitu banyak sekali bahasa Indian di Amerika yang belum diperlukan (2)
Sikap Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan dengan iklim filsafat yang
berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu filsafat behaviorisme
(3) Di antara linguis-linguis itu ada hubungan yang baik, karena
adanya The Linguistics Society of America, yang menerbitkan majalah Language;
wadah tempat melaporkan hasil kerja mereka. Ciri aliran strukturalis Amerika
ini adalah cara kerja mereka yang sangat menekankan pentingnya data yang
objektif untuk memberikan suatu bahasa. Disebut aliran Bloomfield karena
bermula dari gagasan Bloomfield. Disebut juga sebagai aliran taksonomi karena
aliran ini menganalisis dan mengklasifikasikan unsur-unsur bahasa berdasarkan
hubungan hierarkinya.
Aliran Tagmemik
Aliran ini dipelopori oleh Kenneth L. Price, seorang
tokoh dari Summer Institute of Linguistics, yang mewarisi pandangan-pandangan
Bloomfeld, sehingga aliran ini juga bersifat strukturalis, tetapi juga
antropologis. Menurut aliran ini satuan dasar dan sintaksis adalah tagmem (susunan). Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan
sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling diperlukan untuk mengisi slot
tersebut.Tagmem ini tidak dapat dinyatakan dengan fungsi-fungsi saja. Seperti
subjek + predikat + objek dantidak dapat dinyatakan dengan bentuk-bentuk saja,
seperti frase benda + frase kerja + frase benda, melainkan harus diungkapkan
kesamaan dan rentetan rumus seperti: S : FN + P : FV + O : FN artinya,
fungsi subjek diisi oleh frase nominal diikuti oleh fungsi predikat yang diisi
oleh frase verbal dan diikuti pula oleh fungsi objek yang diisi oleh frase
nominal.
Aliran Tradisional
Istilah tradisional sering dipertentangkan dengan istilah struktural, sehingga
dalam pendidikan formal ada istilah tata bahasa tradisional dan tata bahasa
struktural. Kedua jenis tata bahasa ini banyak dibicarakan sebagai dua hal yang
bertentangan, sebagai akibat dari pendekatan keduanya yang tidak sama terhadap
hakikat bahasa. Tata bahasa tradisional menganalisis bahasa berdasarkan
filsafat dan semantik, sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan struktur
atau ciri-ciri formal yang ada dalam bahasa tertentu. Dalam merumuskan kata
kerja, misalnya, tata bahasa tradisional mengatakan kata kerja adalah kata yang
menyatakan tindakan atau kejadian, sedangkan tata bahasa struktural menyatakan
kata kerja adalah kata yang dapat berdistribusi dengan frase ”dengan....”
(Chaer, 2003:333).
Terbentuknya tata bahasa tradisional telah melalui masa yang sangat panjang, dari zaman ke zaman, mulai zaman Yunani sampai menjelang munculnya linguistik modern sekitar akhir abad ke-19.
(1) Linguistik Zaman Yunani
Studi bahasa pada zaman Yunani mempunyai sejarah yang sangat panjang, yaitu dari lebih kurang abad ke-5 SM. Sampai abad ke-2 M. Jadi kurang lebih sekitar 600 tahun. Masalah pokok kebahasaan yang menjadi pertentangan pada waktu itu adalah (1) pertentangan antara fisis dan nomos, dan (2) pertentangan antara analogi dan anomali (Chaer, 2003:333).
Fisis (alami) mempunyai prinsip abadi dan tidak dapat diubah dan ditolak, sedangkan nomos (konvensi) beranggapan bahwa bahasa bersifat konvensi, makna dari sebuah kata diperoleh dari hasil tradisi atau kebiasaan yang mempunyai kemungkinan bisa berubah.
Pertentangan analogi dan anomali menyangkut masalah bahasa itu sesuatu yang teratur atau tidak teratur. Kaum analogi antara lain Plato dan Aristoteles, berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur. Keteraturan bahasa itu tampak, misalnya dalam bahasa Inggris : Boy-Boys. Sebaliknya, kelompok anomali berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur. Ini dibuktikan dengan kata dalam bahasa Inggris child menjadi children, bukannya childs (Chaer, 2003:334).
Dari studi bahasa kaum Yunani dikenal nama beberapa kaum atau tokoh yang mempunyai peranan besar dalam studi bahasa, yaitu kaum Sophis, Plato, Aristoteles, Kaum Stoik, dan kaum Alexandrian.
Kaum Sophis melakukan kerja empiris, menggunakan ukuran tertentu, mementingkan retorika dalam studi, dan membedakan kalimat berdasarkan isi dan makna. Salah seorang tokoh Sophis adalah Protogaros. Protogaros membagi kalimat menjadi: kalimat tanya, jawab, perintah, laporan, doa, dan undangan. Tokoh lain, Georgias, membicarakan gaya bahasa.
Plato dalam studi bahasa terkenal, karena: memperdebatkan analogi dan anomaly, membuat batasan bahasa, bahwa bahasa adalah pernyataan pikiran manusia dengan perantara onomata dan rhemata, dan membedakan kata dalam onoma (nama dalam bahasa sehari-hari dan nomina/atau nominal dalam tata bahasa, dan subjek) dan rhema (ucapan dalam bahasa sehari-hari, verba dalam tata bahasa, dan predikat).
Aristoteles membagi kata dalam tiga kelas kata, yaitu anoma, rhema, dan syndesmoi. Syndesmoi adalah kata-kata yang lebih banyak bertugas dalam hubungan sintaksis. Syndesmoi itu lebih kurang sama dengan preposisi dan konjungsi yang sekarang kita kenal. Aristoteles juga membedakan jenis kelamin kata (gender) menjadi tiga, yaitu maskulin, feminin, dan neutrum.
Kaum Stoik adalah kelompok ahli filsafat yang berkembang pada permulaan abad ke-4 SM. Dalam studi bahasa kaum stoik, terdapat kajian yang terkenal, antara lain karena: (1) membedakan studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara tata bahasa, (2) menciptakan istilah khusus dalam studi bahasa, (3) membedakan tiga komponen utama dari studi bahasa, yaitu : 1) tanda, simbol, sign, atau semainon, 2) makna, apa yang disebut smainomen/lekton, 3) hal-hal di luar bahasa yakni benda-benda atau situasi, (4) membedakan legein, yaitu bunyi yang merupakan bagian fonologi tetapi tidak bermakna dan propheretal yaitu ucapan bunyi bahasa yang mengandung makna, (5) membagi jenis kata menjadi empat yaitu kata benda, kata kerja, syndesmoi, dan arthoron yaitu kata-kata yang menyatakan jenis kelamin dan jumlah, dan (6) membedakan kata kerja komplek dan kata kerja tak komplek. Serta kata kerja aktif dan pasif.
Kaum Alexandrian menganut paham analogi dalam studi bahasa. Kaum ini menciptakan buku Dionysius Thrax yang menjadi cikal bakal tata bahasa tradisional. Semasa dengan zaman Alexandrian, di India hidup seorang sarjana Hindu yang bernama Panini, telah menyusun kurang 4.000 pemerian tentang struktur bahasa Sansekerta dengan prinsip-prinsip dan gagasan yang masih dipakai linguistik modern. Karena itulah Panini dianggap sebagai one of greatest monuments of the human intelligence oleh Leonard Bloomfield.
(2) Linguistik Zaman Romawi
Zaman Romawi merupakan kelanjutan dari zaman Yunani. Tokoh pada zaman Romawi yang terkenal antara lain, Varro (116-27 SM) dengan karyanya, De Lingua Latina dan Priscia dengan karyanya Institutiones Grammaticae.
Varro dalam bukunya yang berjudul De Lingua Latina masih membahas masalah analogi dan anomali seperti pada zaman Stoik di Yunani. Buku De Lingua Latina terdiri dari 25 jilid. Buku ini dibagi dalam bidang-bidang etimologi, morfologi, sintaksis.
Tata bahasa Priscia dianggap sangat penting karena merupakan buku tata bahasa Latin paling lengkap yang dituturkan pembicara aslinya dan teori-teori tata bahasa yang merupakan tonggak-tonggak utama pembicaraan bahasa secara tradisional. Segi yang dibicarakan dari buku itu adalah: (1) fonologi dibicarakan mengenai huruf/tulisan yang disebut literae/bagian terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan, (2) morfologi dibicarakan mengenai dictio/atau kata, (3) sintaksis dibicarakan mengenai oratio yaitu tata susunan kata yang berselaras dan menunjukkan kalimat itu selesai. Buku Institutiones Grammaticae ini telah menjadi dasar tata bahasa Latin dan filsafat zaman pertengahan (Chaer, 2003:341).
(3) Linguistik Zaman Pertengahan
Studi bahasa pada zaman pertengahan mendapat perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik. Pada zaman pertengahan ini, yang patut dibicarakan dalam studi bahasa antara lain adalah peranan Kaum Modistae, Tata Bahasa Spekulativa, dan Petrus Hispanus (Chaer, 2003: 341).
Kaum Modistae menerima analogi karena menurut mereka bahasa itu bersifat reguler dan universal. Mereka memperhatikan secara penuh akan semantik sebagai penyebutan definisi bentuk-bentuk bahasa, dan mencari sumber makna, maka dengan demikian berkembanglah bidang etimologi pada zaman itu.
Tata Bahasa Spekulativa merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin ke dalam filsafat skolastik. Menurut Tata Bahasa Spekulativa, kata tidak secara langsung mewakili alam dari benda yang ditunjuk.
Petrus Hispanus, memasukkan psikologi dalam analisis makna bahasa, membedakan nomen atas dua macam yaitu nomen substantivum dan nomen edjektivum, membedakan semua bentuk yang menjadi subjek/predikat dan bentuk tutur lainnya.
(4) Zaman Renaisans
Zaman Renaisans dianggap sebagai zaman pembukaan abad pemikiran abad modern. Dalam sejarah studi bahasa ada dua hal pada zaman renaisans ini yang menonjol yang perlu dicatat. 1) Sarjana-sarjana pada waktu itu menguasai bahasa Latin, Ibrani, dan Arab, 2) Bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk pembahasaan, penyusunan tata bahasa, dan perbandingan.
(5) Menjelang Lahirnya Linguistik Modern
Masa antara lahirnya linguistik modern dengan masa berakhirnya zaman renaisans terdapat satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah studi bahasa. Tonggak yang sangat penting itu adalah dinyatakannya adanya hubungan kekerabatan antara bahasa Sansekerta dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya yang telah membuka babak baru sejarah linguistik, yakni dengan berkembangnya studi linguistik bandingan atau linguistik historis komparatif, serta studi mengenai hakekat bahasa secara linguistik terlepas dari masalah filsafat Yunani Kuno.
Bila disimpulkan, pembicaraan mengenai linguistik tradisional dapat dikatakan bahwa:
1) Pada tata bahasa tradisional ini, tidak dikenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran dengan bahasa tulisan. Oleh karena itu, deskripsi bahasa hanya bertumpu pada tulisan.
2) Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil patokan-patokan dari bahasa lain, terutama bahasa Latin.
3) Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara perspektif, yakni benar atau salah.
4) Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan melibatkan logika.
5) Penemuan-penemuan terdahulu cenderung untuk selalu dipertahankan (Chaer, 2003:345).
Terbentuknya tata bahasa tradisional telah melalui masa yang sangat panjang, dari zaman ke zaman, mulai zaman Yunani sampai menjelang munculnya linguistik modern sekitar akhir abad ke-19.
(1) Linguistik Zaman Yunani
Studi bahasa pada zaman Yunani mempunyai sejarah yang sangat panjang, yaitu dari lebih kurang abad ke-5 SM. Sampai abad ke-2 M. Jadi kurang lebih sekitar 600 tahun. Masalah pokok kebahasaan yang menjadi pertentangan pada waktu itu adalah (1) pertentangan antara fisis dan nomos, dan (2) pertentangan antara analogi dan anomali (Chaer, 2003:333).
Fisis (alami) mempunyai prinsip abadi dan tidak dapat diubah dan ditolak, sedangkan nomos (konvensi) beranggapan bahwa bahasa bersifat konvensi, makna dari sebuah kata diperoleh dari hasil tradisi atau kebiasaan yang mempunyai kemungkinan bisa berubah.
Pertentangan analogi dan anomali menyangkut masalah bahasa itu sesuatu yang teratur atau tidak teratur. Kaum analogi antara lain Plato dan Aristoteles, berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur. Keteraturan bahasa itu tampak, misalnya dalam bahasa Inggris : Boy-Boys. Sebaliknya, kelompok anomali berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur. Ini dibuktikan dengan kata dalam bahasa Inggris child menjadi children, bukannya childs (Chaer, 2003:334).
Dari studi bahasa kaum Yunani dikenal nama beberapa kaum atau tokoh yang mempunyai peranan besar dalam studi bahasa, yaitu kaum Sophis, Plato, Aristoteles, Kaum Stoik, dan kaum Alexandrian.
Kaum Sophis melakukan kerja empiris, menggunakan ukuran tertentu, mementingkan retorika dalam studi, dan membedakan kalimat berdasarkan isi dan makna. Salah seorang tokoh Sophis adalah Protogaros. Protogaros membagi kalimat menjadi: kalimat tanya, jawab, perintah, laporan, doa, dan undangan. Tokoh lain, Georgias, membicarakan gaya bahasa.
Plato dalam studi bahasa terkenal, karena: memperdebatkan analogi dan anomaly, membuat batasan bahasa, bahwa bahasa adalah pernyataan pikiran manusia dengan perantara onomata dan rhemata, dan membedakan kata dalam onoma (nama dalam bahasa sehari-hari dan nomina/atau nominal dalam tata bahasa, dan subjek) dan rhema (ucapan dalam bahasa sehari-hari, verba dalam tata bahasa, dan predikat).
Aristoteles membagi kata dalam tiga kelas kata, yaitu anoma, rhema, dan syndesmoi. Syndesmoi adalah kata-kata yang lebih banyak bertugas dalam hubungan sintaksis. Syndesmoi itu lebih kurang sama dengan preposisi dan konjungsi yang sekarang kita kenal. Aristoteles juga membedakan jenis kelamin kata (gender) menjadi tiga, yaitu maskulin, feminin, dan neutrum.
Kaum Stoik adalah kelompok ahli filsafat yang berkembang pada permulaan abad ke-4 SM. Dalam studi bahasa kaum stoik, terdapat kajian yang terkenal, antara lain karena: (1) membedakan studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara tata bahasa, (2) menciptakan istilah khusus dalam studi bahasa, (3) membedakan tiga komponen utama dari studi bahasa, yaitu : 1) tanda, simbol, sign, atau semainon, 2) makna, apa yang disebut smainomen/lekton, 3) hal-hal di luar bahasa yakni benda-benda atau situasi, (4) membedakan legein, yaitu bunyi yang merupakan bagian fonologi tetapi tidak bermakna dan propheretal yaitu ucapan bunyi bahasa yang mengandung makna, (5) membagi jenis kata menjadi empat yaitu kata benda, kata kerja, syndesmoi, dan arthoron yaitu kata-kata yang menyatakan jenis kelamin dan jumlah, dan (6) membedakan kata kerja komplek dan kata kerja tak komplek. Serta kata kerja aktif dan pasif.
Kaum Alexandrian menganut paham analogi dalam studi bahasa. Kaum ini menciptakan buku Dionysius Thrax yang menjadi cikal bakal tata bahasa tradisional. Semasa dengan zaman Alexandrian, di India hidup seorang sarjana Hindu yang bernama Panini, telah menyusun kurang 4.000 pemerian tentang struktur bahasa Sansekerta dengan prinsip-prinsip dan gagasan yang masih dipakai linguistik modern. Karena itulah Panini dianggap sebagai one of greatest monuments of the human intelligence oleh Leonard Bloomfield.
(2) Linguistik Zaman Romawi
Zaman Romawi merupakan kelanjutan dari zaman Yunani. Tokoh pada zaman Romawi yang terkenal antara lain, Varro (116-27 SM) dengan karyanya, De Lingua Latina dan Priscia dengan karyanya Institutiones Grammaticae.
Varro dalam bukunya yang berjudul De Lingua Latina masih membahas masalah analogi dan anomali seperti pada zaman Stoik di Yunani. Buku De Lingua Latina terdiri dari 25 jilid. Buku ini dibagi dalam bidang-bidang etimologi, morfologi, sintaksis.
Tata bahasa Priscia dianggap sangat penting karena merupakan buku tata bahasa Latin paling lengkap yang dituturkan pembicara aslinya dan teori-teori tata bahasa yang merupakan tonggak-tonggak utama pembicaraan bahasa secara tradisional. Segi yang dibicarakan dari buku itu adalah: (1) fonologi dibicarakan mengenai huruf/tulisan yang disebut literae/bagian terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan, (2) morfologi dibicarakan mengenai dictio/atau kata, (3) sintaksis dibicarakan mengenai oratio yaitu tata susunan kata yang berselaras dan menunjukkan kalimat itu selesai. Buku Institutiones Grammaticae ini telah menjadi dasar tata bahasa Latin dan filsafat zaman pertengahan (Chaer, 2003:341).
(3) Linguistik Zaman Pertengahan
Studi bahasa pada zaman pertengahan mendapat perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik. Pada zaman pertengahan ini, yang patut dibicarakan dalam studi bahasa antara lain adalah peranan Kaum Modistae, Tata Bahasa Spekulativa, dan Petrus Hispanus (Chaer, 2003: 341).
Kaum Modistae menerima analogi karena menurut mereka bahasa itu bersifat reguler dan universal. Mereka memperhatikan secara penuh akan semantik sebagai penyebutan definisi bentuk-bentuk bahasa, dan mencari sumber makna, maka dengan demikian berkembanglah bidang etimologi pada zaman itu.
Tata Bahasa Spekulativa merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin ke dalam filsafat skolastik. Menurut Tata Bahasa Spekulativa, kata tidak secara langsung mewakili alam dari benda yang ditunjuk.
Petrus Hispanus, memasukkan psikologi dalam analisis makna bahasa, membedakan nomen atas dua macam yaitu nomen substantivum dan nomen edjektivum, membedakan semua bentuk yang menjadi subjek/predikat dan bentuk tutur lainnya.
(4) Zaman Renaisans
Zaman Renaisans dianggap sebagai zaman pembukaan abad pemikiran abad modern. Dalam sejarah studi bahasa ada dua hal pada zaman renaisans ini yang menonjol yang perlu dicatat. 1) Sarjana-sarjana pada waktu itu menguasai bahasa Latin, Ibrani, dan Arab, 2) Bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk pembahasaan, penyusunan tata bahasa, dan perbandingan.
(5) Menjelang Lahirnya Linguistik Modern
Masa antara lahirnya linguistik modern dengan masa berakhirnya zaman renaisans terdapat satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah studi bahasa. Tonggak yang sangat penting itu adalah dinyatakannya adanya hubungan kekerabatan antara bahasa Sansekerta dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya yang telah membuka babak baru sejarah linguistik, yakni dengan berkembangnya studi linguistik bandingan atau linguistik historis komparatif, serta studi mengenai hakekat bahasa secara linguistik terlepas dari masalah filsafat Yunani Kuno.
Bila disimpulkan, pembicaraan mengenai linguistik tradisional dapat dikatakan bahwa:
1) Pada tata bahasa tradisional ini, tidak dikenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran dengan bahasa tulisan. Oleh karena itu, deskripsi bahasa hanya bertumpu pada tulisan.
2) Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil patokan-patokan dari bahasa lain, terutama bahasa Latin.
3) Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara perspektif, yakni benar atau salah.
4) Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan melibatkan logika.
5) Penemuan-penemuan terdahulu cenderung untuk selalu dipertahankan (Chaer, 2003:345).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar