Senin, 18 Maret 2013

aliran-aliran linguistik


 Aliran Transformasional

Aliran transformasional ini dipelopori oleh Noam Chomsky yang merupakan reaksi dari faham strukturalisme. Konsep strukturalisme yang paling ditentang adalah konsep bahwa bahasa sebagai faktor kebiasaan (habit). Tentang tata bahasa transformasional ini ditulis oleh Chomsky dalam bukunya Syntactic Structure pada tahun 1957, yang kemudian diperkembangkan lagi dalam bukunya yang kedua berjudul Aspect of the Theory of Syntax pada tahun 1965.
Adapun asumsi yang mendasari pendekatan bahasa secara transformasional ini adalah sebagai berikut:
  1. Bahasa merupakan satu produk kebudayaan yang kreatif manusiawi
  2. Bahasa bukan merupakan rekaman tingkah laku luar yang berupa bunyi yang dapat didengar, melainkan bahasa merupakan satu proses mentalistik yang kelak kemudian dilahirkan dalam bentuk luar bunyi bahasa yang didengar atau kelak dimanifestasikan dalam bentuk tulis
  3. Bahasa merupakan satu proses produktif, sehingga metode analisis bahasa harus bersifat deduktif
  4. Formalisasi matematis dapat juga dikenakan pada formalisasi sistem produktif bahasa
  5. Analisis bahasa tidak dapat dilepaskan dari hakikat bahasa yang utuh yakni bunyi dan makna.
Menurut Chomsky salah satu tujuan dari penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata bahasa dari bahasa tersebut. Bahasa dapat dianggap sebagai kumpulan kalimat yang terdiri dari deretan bunyi yang mempunyai makna. Setiap tata bahasa merupakan teori dari bahasa itu sendiri, dan tata bahasa itu harus memenuhi dua syarat, yaitu:
  1. Kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat.
  2. Tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya ini harus sejajar dengan teori linguistik.
Chomsky membedakan antara kemampuan (competence) dan perbuatan berbahasa (performance). Dalam tata bahasa transformasional ini kemampuanlah yang menjadi objeknya, meskipun perbuatan berbahasa juga penting[1].

Competence
adalah kemungkinan yang terwaris dan tersimpan dalam otak manusia itu memberikan kemungkinan kepadanya untuk melaksanakan proses berbahasa. Dengan kata lain competence adalah pengetahuan yang dimilki oleh pemakai bahasa mengenai bahasanya. Ia berpendapat bahwa sebenarnya kalimat yang kita dengar dari seorang pembicara bahasa tertentu itu pada umumnya adalah kalimat-kalimat yang baru.

Sedangkan performance merupakan pencerminan dari competence, yang juga dipengaruhi oleh berbagai situasi mental dan lingkungan real seperti keterbatasan ingatan, keteledoran, kecerobohan dan sebagainya. Oleh karena itu, agar performance benar-benar merupakan pencerminan competence atau bunyi dan makna bersesuai dengan kaidah-kaidah competence, maka faktor-faktor ekstralinguistik tersebut sejauh mungkin dihindari. Dengan kata lain dapat kita katakan bahwa performance adalah pemakaian bahasa itu sendiri dalam keadaan yang sebenarnya.

Menurut aliran ini sebuah tata bahasa hendaknya terdiri dari sekelompok kaidah yang tertentu jumlahnya, tetapi dapat menghasilkan kalimat yang tidak terbatas jumlahnya. Seseorang bisa membuat berbagai kalimat yang tidak terbatas jumlahnya dan bisa ia mengerti, yang mana sebagian besar kalimat tersebut barangkali belum pernah diucapkan ataupun didengar. kemampuan tersebut dinamakan aspek kreatif bahasa.

Ahli bahasa yang beraliran transformasional ini antara lain: N. Chpmsky, P. Postal, J.A. Fodor, M. Halle, R. Palmatier, J. Lyons, J.J. Katz, Y.P.B. Allen, P. Van Buren, R.D. King, R.A. Jacobs, J. Green, W.A. Cook (sebelum pindah ke tagmenik), dan lain-lain
[2].

Penataan Tata Bahasa Generatif


Analisis tata bahasa generatif bertugas mengungkapkan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami sebanyak mungkin kalimat. Tata bahasa generatif harus menjadi satu sistem kaidah yang dapat secara berulang membangkitkan sejumlah besar struktur. Sistem kaidah ini dapat dianalisis dalam tiga komponen tata bahasa generatif, yaitu:
  1. Komponen sintaksis mencirikan dan menggambarkan sejumlah tak terbatas struktur terabstrak, yang masing-masing mencakup semua informasi yang ada hubungannya dengan satu interpretasi dari sebuah kalimat tertentu.
  2. Komponen fonologis menentuksan bentuk fonetik dari sebuah kalimat yang dibangkitkan oleh kaidah sintaksis. Ia menghubungkan sebuah struktur yang dilahirkan oleh komponen sintaksis dengan simbol yang dinyatakan secara fonetis.
  3. Komponen semantik menentukan interpretasi semantik sebuah kalimat. Komponen fonologis dan komponen semantik merupakan komponen interpretatif.
B. Ciri-ciri Aliran Transformasional
1. Berdasarkan Paham Mentalistik
Aliran berpendapat bahwa proses berbahasa bukan sekadar proses rangsang-tanggap semata-mata, akan tetapi justru menonjol sebagai proses kejiwaan. Proses berbahasa bukan sekadar proses fisik yang berupa bunyi sebagai hasil sumber getar yang diterima oleh alat auditoris, akan tetapi berupa proses kejiwaan di dalam diri peserta bicara. Oleh karena itu, aliran ini sangat erat kaitannya dengen subdisipliner psikolinguistik
2. Bahasa Merupakan Innate
Kaum transformasi beranggapan penuh bahwa bahasa merupakan faktor innate (warisan keturunan). Dalam hal ini, untuk membuktikan teorinya Chomsky dengan bantuan rekannya membuktikan bahwa struktur otak manusia dengan otak simpanse persis sama, kecuali satu simpul syaraf bicara yang ada pada struktur otak manusia tidak terdapat pada struktur otak simpanse. Itulah sebabnya simpanse tidak dapat berbicara seperti manusia, meskipun ia telah dilatih berkali-kali, karena hal itu tidak disebabkan oleh kebiasaan, akan tetapi harus ada faktor keturunan.
3. Bahasa Terdiri atas Lapis Dalam dan Lapis Permukaan
Teori transformasional memisahkan bahasa atas dua lapisan, yakni deep structure (struktur dalam/ lapis batin) yaitu tempat terjadinya proses berbahasa yang sesungguhnya/ secara mentalistik; dan surface structure (struktur luar, struktur lahiriah) yaituwujud lahiriyah yang ditransformasikan dari lapis batin. Contoh: Welcome, Ahlan wa Sahlan, Selamat datang merupakan tiga unsur struktur permukaan yang ditransformasikan dari satu struktur dalam yang sama.
4. Bahasa Terdiri atas Unsur Competent dan Performance
Sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas, aliran transformasional memisahkan bahasa atas unsur competent yaitu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang penutur tentang bahasanya termasuk kaidah-kaidah yang berlaku bagi bahasanya; dan performance yaitu ketrampilan seseorang dalam menggunakan bahasa tersebut.
5. Analisis Bahasa Bertolak dari Kalimat
Aliran ini beranggapan bahwa kalimat merupakan tataran gramatik yang tertingi. Dari kalimat analisisnya turun ke frasa dan kemudian dari frasa turun kata. Aliran ini tidak mengakui adanya klausa.
6. Bahasa Bersifat Kreatif
Ciri ini merupakan reaksi atas anggapan kaum struktural yang fanatik terhadap standar keumuman. Bagi kaum transformasional yang terpenting adalah kaidah. Walaupun suatu bentuk kata belum umum asalkan pembentukannya sesuai dengan kaidah yang berlaku, maka tidak ada halangan untuk mengakuinya sebagai bentuk gramatikal. Contoh:
a. Sampah telah menggunung di tepi jalan.
kata menggunung terbentuk dari kata gunung dan prefiks me-ng bermaksud menyerupai gunung
b. Peluhnya menganak sungai, dll
7. Membedakan Kalimat Inti dan Kalimat Transformasi
Aliran ini membedakan antara kalimat inti dan kalimat transformasional. Kalimat inti adalah kalimat yang belum dikenai oleh kaidah transformasi, mempunyai ciri-ciri (a) lengkap, (b) simpel (c) aktif (merupakan ciri pokok), (d) statement (e)positif (f) runtut (merupakan ciri tambahan).
Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:
KALIMAT
INTI
KAIDAH
TRANSFORMASI
KALIMAT
TRANSFORMASI
1. Lengkap
Pelepasan/delisi
Kalimat elips/ minor
2. Simpel
Penggabungan
Kalimat kompleks
3. Aktif
Pemasifan
Kalimat Pasif
4. Statement
- Tanya
- Perintah
- Kalimat Tanya
- Kalimat Perintah
5. Positif
Pengingkaran
Kalimat Ingkar
6. Runtut
Pembalikan
Kalimat Inversi


C. Keunggulan dan Kelemahan Aliran Transformasional
1. Keunggulan Aliran Transformasi
a. Proses berbahasa merupakan proses kejiwaan buakan fisik.
b. Secara tegas memisah pengetahuan kebahasaan dengan keterampilan berbahasa (linguistic competent dan linguistic performance)
c. Dapat membentuk konstruksi-konstruksi lain secara kreatif berdasarkan kaidah yang ada.
d. Dengan pembedaan kalimat inti dan transformasi telah dapat dipilah antara substansi dan perwujudan.
e. dapat menghasilkan kalimat yang tak terhingga banyaknya karena gramatiknya bersifat generatif.
2. Kelemahan Aliran Transformasi
a. Tidak mengakui eksistensi klausa sehingga tidak dapat memilah konsep klausa dan kalimat
b. Bahasa merupakan innate walaupun manusia memiliki innate untuk berbahasa tetapi tanpa dibiasakan atau dilatih mustahil akan bisa.
c. Setiap kebahasaan selalu dikembalikan kepada deep structure
. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan pokok fikiran tata bahasa transformasi sebagai berikut:
  • Tiap penutur bahasa, yang normal memiliki kemampuan (competence) bahasa. Dengan kemampuan ini dia dapat membentuk kalimat-kalimat baru dan memahami kalimat-kalimat yang belum pernah ia dengar
  • Tata bahasa adalah seperangkat kalimat. Setiap kalimat terdiri dari sejumlah unsur dasar yang mempunyai struktur tertentu dan tiap kalimat dapat diwujudkan berkali-kali secara teoritis tanpa batas
  • Bahasa mengandung struktur lahiriyah dan struktur batiniyah
4. Tata kalimat terdiri dari tiga komponen, yakni:
a. Komponen dasar
b. komponen transformasi
c. Komponen semantik


Aliran struktualis

Lahirnya Aliran Strukturalis[2]
Linguistik strukturalis berusaha mendiskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) dianggap sebagai bapak linguistik modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya Course de Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915. Dalam kaiannya denga bahasa Saussure  menegaskan bahwa bahasa sebenarnya dapat dikaji dengan teori yang mandiri yang disebutnya “Linguistique[3] untuk mengimbangi kajian bahasa melalui disiplin psikologi, filologi, dan filsafat.  
Strukturalisme merupakan arus penting dri pemikiran Eropa tahun 1960-an. Perhatian utma ditujukan pada penelitian berkaitan dengan cara dan mekanisme berbahasa yang mencakup tutur kata dan bunyi dalam kaitannya dengan sejarah, institusi sosial, dan konteks di mana sebuah bahasa berkambang.[4] Aliran Strukturalis atau Strukturalisme merupakan suatu pendekatan ilmu humanis yang mencoba untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem kompleks yang saling berhubungan. Ferdinand de Saussure (1857-1913)[5] dianggap sebagai salah satu tokoh penggagas aliran ini, meskipun masih banyak intelektual Perancis lainnya yang dianggap memberi pengaruh lebih luas. Aliran ini kemudian diterapkan pula pada bidang lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, psikoanalisis , teori sastra dan arsitektur. Ini menjadikan strukturalisme tidak hanya sebagai sebuah metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual di Perancis tahun 1960-an.
Menurut Alison Assiter[6], ada empat ide umum mengenai strukturalisme sebagai bentuk ‘kecenderungan intelektual’. Pertama, struktur menentukan posisi setiap elemen dari keseluruhan. Kedua, kaum strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki struktur. Ketiga, kaum strukturalis tertarik pada ‘struktural’ hukum yang berhubungan dengan hidup berdampingan bukan perubahan. Dan terakhir struktur merupakan ‘hal nyata’ yang terletak di bawah permukaan atau memiliki makna tersirat.
Strukturalisme memiliki berbagai tingkat pengaruh dalam ilmu sosial, dan pengaruh sangat kuat dapat terlihat di bidang sosiologi. Aliran Strukturalis menyatakan bahwa budaya manusia harus dipahami sebagai sistem tanda (system of signs). Robert Scholes mendefinisikannya sebagai reaksi terhadap keterasingan modernis dan keputusasaan. Para kaum strukturalis berusaha mengembangkan semiologi (sistem tanda). Ferdinand de Saussure adalah penggagas strukturalisme abad ke-20, dan bukti tentang hal ini dapat ditemukan dalam Course in General Linguistics, yang ditulis oleh rekan-rekan Saussure setelah kematiannya dan berdasarkan catatan para muridnya. Saussure tidak memfokuskan diri pada penggunaan bahasa (parole, atau ucapan), melainkan pada sistem yang mendasari bahasa (langue). Teori ini lalu muncul dan disebut semiologi. Namun, penemuan sistem ini harus terlebih dahulu melalui serangkaian pemeriksaan parole (ucapan). 
Dengan demikian, Linguistik Struktural sebenarnya bentuk awal dari linguistik korpus (kuantifikasi). Pendekatan ini berfokus pada  bagaimana sesungguhnya kita dapat mempelajari unsur-unsur bahasa yang terkait satu sama lain  ’sinkronis’ daripada ‘diakronis’. Akhirnya, dia menegaskan bahwa tanda-tanda linguistik terdiri atas dua bagian, sebuah penanda (pola suara dari sebuah kata, baik dalam proyeksi mental – seperti pada saat kita membaca puisi untuk diri kita sendiri dalam hati – atau sebenarnya, realisasi fisik sebagai bagian dari tindak tutur) dan signified (konsep atau arti kata). Ini sangat berbeda dari pendekatan sebelumnya yang berfokus pada hubungan antara kata dan hal-hal di dunia dengan referensinya.

3. Ciri-ciri Aliran Struktural
(a)    Berlandaskan pada paham behaviourisme. Proses berbahasa merupakan proses rangsang-tanggap (stimulus-response).
(b)   Bahasa berupa ujaran. Ciri ini menunjukkan bahwa hanya ujaran saja yang termasuk dalam bahasa. Dalam pengajaran bahasa teori struktural melahirkan metode langsung dengan pendekatan oral. Tulisan statusnya sejajar dengan gersture.
(c)    Bahasa merupakan sistem tanda (signifie dan signifiant) yang arbitrer dan konvensional. Berkaitan dengan ciri tanda, bahasa pada dasarnya merupakan paduan dua unsur yaitu signifie dan signifiant. Signifie adalah unsur bahasa yang berada di balik tanda yang berupa konsep di balik sang penutur atau disebut juga makna. Sedangkan signifiant adalah wujud fisik atau hanya yang berupa bunyi ujar.
(d)   Bahasa merupakan kebiasaan (habit). Berdasarkan sistem habit, pengajaran bahasa diterapkan metode drill and practice yakni suatu bentuk latihan yang terus menerus dan berulang-ulang sehingga membentuk kebiasaan.
(e)    Kegramatikalan berdasarkan keumuman.
(f)    Level-level gramatikal ditegakkan secara rapi. Level gramatikal mulai ditegakkan dari level terendah yaitu morfem sampai level tertinggi berupa kalimat. Urutan tataran gramatikalnya adalah morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat. Tataran di atas kalimat belum terjangkau oleh aliran ini.
(g)    Analisis dimulai dari bidang morfologi.
(h)   Bahasa merupakan deret sintakmatik dan paradigmatik
(i)     Analisis bahasa secara deskriptif.
(j)     Analisis struktur bahasa berdasarkan unsur langsung. Unsur langsung adalah unsur yang secara langsung membentuk struktur tersebut. Ada empat model analisis unsur langsung yaitu model Nida, model Hockett, model Nelson, dan model Wells.

4. Keunggulan Aliran Struktural
(a)    Aliran ini sukses membedakan konsep grafem dan fonem.
(b)   Metode drill and practice membentuk keterampilan berbahasa berdasarkan kebiasaan
(c)    Kriteria kegramatikalan berdasarkan keumuman sehingga mudah diterima masyrakat awam.
(d)   Level kegramatikalan mulai rapi mulai dari morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat.
(e)    Berpijak pada fakta, tidak mereka-reka data.

5. Kelemahan Aliran Struktural
(a)    Bidang morfologi dan sintaksis dipisahkan secara tegas.
(b)   Metode drill and practice sangat memerlukan ketekunan, kesabaran, dang sangat menjemukan.
(c)    Proses berbahasa merupakan proses rangsang-tanggap berlangsung secara fisis dan mekanis padahal manusia bukan mesin.
(d)   Kegramatikalan berdasarkan kriteria keumuman , suatu kaidah yang salah pun bisa benar jika dianggap umum.
(e)    Faktor historis sama sekali tidak diperhitungkan dalam analisis bahasa.
(f)    Objek kajian terbatas sampai level kalimat, tidak menyentuh aspek komunikatif.

6. Pernyataan Pokok Aliran Strukturalis
Asumsi Saussure yang terkenal dan merupakan dasar kajiannya adalah bahwa bahasa merupakan realitas sosial. Sebagai realisasi asumsi tersebut, kajian pertama yang dilakukan Saussure adalah kajian terhadap struktur bahasa. Hal ini dilakukan karena Saussure menganggap bahwa bahasa sebagai satu struktur sehingga pendekatannya sering disebut Structural Linguistics. Kedua, Saussure mengembangkan pikirannya ke dalam enam dikotomi tentang bahasa, yaitu (a) dikotomi sinkronik dan diakronik, (b) dikotomi bentuk (form) dan substansi, (c) dikotomi Signifian dan signifie, (d) dikotomi langue dan Parole, (e) dikotomi individu dan sosial, dan (f) hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik.
Saussure mengistilahkan bahasa-bahasa sebagai fakta-fakta sosial. Fakta sosial adalah istilah dari pendiri sosiologi, Émile Durkheim, dalam Rules of Sociological Method (1895),[7] untuk mengacu pada fenomena gagasan-gagasan dalam ‘minda kolektif’ dalam suatu masyarakat, yaitu yang di luar fenomena psikologis dan maupun fisikal. Fakta sosial bisa berupa konvensi dan bisa aturan-aturan. Contoh fakta sosial yang konvensional adalah kecenderungan orang Amerika mengambil jarak fisik dengan lawan bicara. Contoh fakta sosial yang berupa aturan-aturan adalah sistem hukum suatu masyarakat. Bahasa bisa disetarakan dengan sistem hukum atau struktur konvensi. Datanya berupa fenomena-fenomena fisikal atau parole, sedangkan sistem umumnya adalah langue atau ‘bahasa’. Data konkret parole diproduksi oleh pengujar-pengujar secara indivual. Karena penguasaan bahasa setiap orang berbeda-beda, suatu bahasa tidak pernah lengkap pada diri seseorang; keberadaan lengkapnya secara sempurna hanya di dalam kolektivitas. Jadi, fakta sosial menurut Saussure bukan berupa minda kolektif maupun gagasan kolektif seperti yang diterangkan oleh Durkheim. Akibat perbedaan tersebut, muncul dua pendekatan, yaitu pendekatan ‘individualisme metodologis’ yang berseberangan dengan pendekatan Durkheim ‘kolektivisme metodologis’.
6.1 Sinkronik-Diakronik
Gagasan Saussure dapat dipakai sebagai acuan baru dalam studi bahasa, bahwa kajian linguistik hendaknya dilakukan secara diakronik dan sinkronik karena untuk dapat memotret pada suatu waktu tertentu diperlukan pemahaman tentang bahasa itu untuk satu rentangan waktu. Sebagai pemakai, bahasa dapat ditelaah dari “keberadaan” bahasa itu sendiri tanpa terikat oleh rentangan waktu yang berbeda. Kajian diakronik dianggap terlalu sederhana karena hanya mendeskripsikan peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah, sedangkan kajian sinkronik dipandang lebih rumit karena harus mendeskripsikan bahasa itu sendiri.
6.1.1 Sinkronik
Kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti dengan, dan khronos yang berarti waktu, masa. Dengan demikian, linguistik sinkronis mempelajari bahasa sezaman. Fakta dan data bahasa adalah rekaman yang diujarkan oleh pembicara, atau bersifat horisontal. Linguistik sinkronis adalah mempelajari bahasa pada suatu kurun waktu tertentu, misalnya mempelajari bahasa Indonesia di masa reformasi saja.
Saussure mengemukakan bahwa kajian bahasa secara sinkronis amat perlu, meskipun beliau banyak berkecimpung dalam kajian diakronis. Baginya, kajian sinkronis bahasa mengandung kesistematisan tinggi, sedangkan kajian diakronis tidak. Bagi penggunanya, sejarah bahasa tidak memberikan apa-apa kepada pengguna bahasa mengenai cara penggunaan bahasa. Ada yang perlu bagi pengguna bahasa, yaitu état de langue atau suatu keadaan bahasa. Suatu keadaan bahasa terbebas dari dimensi waktu dalam bahasa yang justru memiliki watak kesistematisan.
Kajian sinkronis justru lebih serius dan sulit. Sistem keadaan bahasa ‘sinkronik’ seperti sistem permainan catur. Setiap buah catur (setara dengan suatu unit bahasa) memiliki tempat tersendiri dan memiliki keterkaitan tertentu dengan buah catur lain, dan kekuatan serta pola gerak/jalan tersendiri. Suatu  keadaan bahasa (État de langue) adalah jaringan keterkaitan yang menentukan nilai suatu elemen benar-benar tergantung, langsung atau tak langsung pada nilai elemen-elemen yang lain.
6.1.2 Diakronik
Kata diakronis berasal dari bahasa Yunani, dia yang berarti melalui, dan khronos yang berarti waktu, masa. Dengan demikian, yang dimaksud dengan linguistik diakronis adalah subdisiplin linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke masa.  Linguistik diakronis adalah semua yang memiliki ciri evolusi. Ada berbagai contoh untuk melukiskan dualisme intern (sinkronis dan diakronis),
(a)    Kata Latin “cripus” (berombak, bergelombang, keriting), menimbulkan kata dasar Perancis crép-, yang membentuk kata kerja crépir ‘melepa’, dan décrépir, ‘mengupas lepa’. Pada suatu waktu, bahasa Perancis meminjam kata Latin décrepitus, ‘usang karena usia’, untuk membentuk décrépit; tetapi ternyata orang melupakan asal kata ini.
(b)   Bupati dari kata Sansekerta bhu = bumi atau tanah dan kata Sansekerta patti = kepala atau penguasa sehingga bupati berarti kepala tanah, penguasa tanah, tuan tanah, kepala daerah
(c)    Kalkulasi: dari kata bahasa Latin Calculus = kerikil atau batu kecil, batu kecil untuk menghitung. Dahulu orang menghitung dengan menggunakan krikil kemudian berkembang menjadi sipoa atau sempoa dan yang paling modern orang menghitung dengan menggunakan kalkulator.  Jadi, kalkulasi, kalkulator dilihat secara diakronis merupakan kata yang latin calculus yang mengalamai evolusi.
Jika seseorang hanya melihat sisi diakronis bahasa, maka yang ia lihat bukan lagi langue, melainkan sederet “peristiwa” yang notabene merupakan parole. Linguistik diakronis akan menelaah hubungan-hubungan di antara unsur-unsur yang berturutan dan tidak dilihat oleh kesadaran kolektif yang sama, dan yang satu menggantikan yang lain tanpa membentuk sistem di antara mereka. Sebaliknya, linguistik sinkronis akan mengurusi hubungan-hubungan logis dan psikologis yang menghubungkan unsur-unsur yang hadir bersama dan membentuk sistem, seperti dilihat dalam kesadaran kolektif yang sama.
6.2 Bentuk-substansi
Dikotomi antara bentuk dengan substansi, Saussure menekankan bahwa kajian linguistik harus ditinjau dari segi bentuk dan substansi. Bagi Saussure, substansi penting, namun bentuk lebih penting. Oleh karena itu, dalam kajian bahasa, nilai suatu unsur (langsung atau tidak langsung) sangat bergantung pada nilai unsur lain.
6.3 Signifie-signifiant
Bahasa adalah alat komunikasi di dalam masyarakat yang menggunakan sistem tanda yang maknanya dipahami  secara konvensional oleh anggota masyaraat bahasa tersebut. Tanda bahasa terdiri atas dua unsur yang tak terpisahkan yaitu unsur citra akustik (bentuk) (signifiant/petanda) dan unsur konsep (signifie)/penanda). Hubungan kedua unsur ini didasari konvensi dalam  kehidupan sosial. Kedua unsur ini terdapat di dalam pikiran atau kognisi pemakai bahasa.
Saussure berpendapat bahwa bahasa meliputi suatu himpunan tanda satu lambang yang berupa menyatunya signifiant (signifier, bagian bunyi ujaran) dengan signifie (signified, bagian makna). Kedua bagian itu tidak dapat dipisahkan karena ujaran dan makna ditentukan oleh adanya kontras terhadap lambang-lambang lain dari sistem itu. Bahasa tanpa suatu sistem tidak akan ada dasar yang dapat dipergunakan untuk membedakan bunyi-bunyi yang ada ataupun konsep-konsep yang ada.
6.3.1 Signifie
Signifie merupakan kandungan mental atau citra mental suatu bahasa. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah makna suatu bahasa. Signifie (penanda) merupakan pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Setiap tanda tidak dapat dipisahkan dari tanda yang lain karena baik lafal maupun maknanya dipahami atas perbedaanya dari yang lain.
Dari segi mental, bahasa merupakan suatu totalitas pikiran dalam jiwa manusia. Dari segi fisik, bahasa adalah getaran udara yang lewat suatu tabung dalam alat bicara manusia. Jadi, bahasa merupakan pertemuan antara totalitas pikiran dalam jiwa dan getaran yang dibuat manusia melalui alat-alat bicaranya. Misalnya gambar meja dilambangkan dengan meja (Indonesia), table (Inggris), Mensa (Latin).
Apabila ada orang berujar meja dan kita mendengar rentetan bunyi /m, e, j, a/ itulah yang disebut signifiant, sedangkan bayangan kita terhadap sebuah meja disebut signifienya, yaitu sebuah prabot rumah tangga/kantor berkaki, permukaannya datar, bisa berbentuk bundar, atau bersegi, dan deskripsi lainnya tentang meja.

6.3.2 Signifiant
Bahasa adalah sistem lambang dan lambang itu sendiri adalah kombinasi antara bentuk (signifiant) dan arti (signifie). Signifiant merupakan bentuk bahasa yang terkandung dalam sekumpulan fonem. Signifiant juga sebagai perwujudan akustik suatu bahasa atau wujud dasar sistem fonologi suatu bahasa. Jadi, signifiant (penanda) merupakan citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita.
6.4 Individu-sosial
Dikotomi antara individu dan sosial, Saussure mengatakan bahwa perilaku berbahasa anggota masyarakat sangat ditentukan oleh kelompoknya, meskipun ciri perilaku berbahasa masing-masing anggota berbeda antara satu dan lainnya. Perbedaan perilaku individu tidak akan menyimpang dari perilaku kolektif yang ada pada kelompok.
6.5 Langue-parole
Dikotomi antara langue dan parole dan dikotomi antara sintakmatik dan paradigmatik sebagai bukti bahwa bahasa merupakan realitas sosial. Sebagai realitas sosial bahasa sangat terikat oleh collective mind bukan individual mind. Sebagai collective mind, bahasa merupakan perpaduan antara parole dan langue. Parole mengacu pada tindak ujar dalam situasi yang sesungguhnya oleh masing masing individu. Langue ialah sistem bahasa yang dipakai secara bersama-sama oleh masyarakat penuturnya.
Gagasan Saussure tentang fakta sosial, langue, dan parole, menjadi pilar-pilar konsepnya mengenai struktur gagasan yang amat kontroversial. Para bahasawan tertarik berkomentar. Pendekatan Saussure kembali mengemuka ketika dihadapkan pada pandangan Noam Chomsky. Pandangan Chomsky (1964) yang amat berpengaruh adalah yang membedakan kompetence dari performance. Pembedaan tersebut tampak ada kemiripan dengan pembedaan langue dan parole oleh Saussure. Bahkan, Chomsky sendiri menyamakan konsep linguistic competence yang diperkenalkannya dengan konsep langue. Namun, sesungguhnya kedua konsep tersebut berbeda.
Konsep langue dan parole menyisakan masalah besar dalam sintaksis. Meskipun tidak disebut dalam bukunya, unit-unit (abstrak) yang bermakna sepeti morfem dapat dimasukkan ke dalam langue, masuk dalam sistem, disediakan untuk dipakai dengan jumlah terbatas. Morfem disediakan dalam langue dan dapat digunakan untuk membedakan suatu morfem dengan morfem yang lain. Sintaksis juga unit abstrak bermakna. Kita perlu membedakan dan memilih sintaksis satu dari sintaksis yang lain ketika hendak berkomunikasi. Bedanya dari morfem adalah bahwa jumlah struktur kalimat – sintaksis – tidak terbatas dan bisa terus bertambah. Jika demikian, sintaksis tidak masuk dalam langue, melainkan dalam parole.

6.5.1 Langue
Langue mengacu pada sistem bahasa yang abstrak. Sistem ini mendasari semua ujaran dari setiap individu. Langue bukanlah suatu ujaran yang terdengar, tulisan yang terbaca, melainkan suatu sistem peraturan yang umum dan mendasari semua ujaran nyata. Langue adalah totalitas dari sekumpulan fakta bahasa yang disimpulkan dari ingatan pemakai bahasa dan merupakan gudang kebahasaan yang ada dalam otak setiap individu.
Saussure mengatakan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh secara pasif yang diajarkan dalam masyarakat bahasa dan memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue adalah pengetahuan dan kemampuan berbahasa yang bersifat kolektif dan dihayati bersama oleh semua warga masyarakat. Langue bersenyawa dengan kehidupan masyarakat secara alami. Eksistensi langue memungkinkan adanya parole merujuk pada cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya. Jadi, masyarakat merupakan pihak pelestari langue.
Dalam langue terdapat batas-batas negatif (misalnya, tunduk pada kaidah-kaidah bahasa, solidaritas, asosiatif dan sintagmatif) terhadap apa yang harus dikatakannya apabila seseorang mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal. Langue merupakan sejenis kode, suatu aljabar atau sistem nilai yang murni. Langue adalah perangkat konvensi yang kita terima, siap pakai, dari penutur-penutur terdahulu. Langue telah dan dapat diteliti; langue juga bersifat konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Tanda bahasa tersebut dapat menjadi lambang tulisan yang konvensional.
Langue tidak bisa dipisahkan antara bunyi dan gerak mulut. Langue juga dapat berupa lambang-lambang bahasa konkret; tulisan-tulisan yang terindera dan teraba (terutama bagi tuna runggu). Langue adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. Contoh: Pergi! Dalam kata ini, gagasan kita adalah ingin mengusir, menyuruh, Nah, kata pergi! dapat juga kita ungkapkan kepada tuna runggu dengan abjad tuna runggu, atau dengan simbol atau dengan tanda-tanda militer.
Langue seperti permainan catur, apabila buah caturnya dikurangi akan berubah dan bahkan permainan akan kacau, demikian halnya dalam langue. Jika struktur (sistem) kita ubah, maka akan kacau balau juga. Misalnya: saya makan nasi, jika kalimat ini diubah menjadi: nasi makan saya, kelihatannya kalimat tersebut, janggal.  
Langue perlu agar parole dapat saling dipahami; dan parole perlu agar langue terbentuk. Dengan kata lain, secara historis, fakta parole selalu mendahului langue. Bunyi kata: “pergi!” adalah parole, tetapi ia juga termasuk langue karena sistem tanda ada di sana dan maknanya pun ada. Langue hadir secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang tersimpan di dalam setiap otak; kira-kira seperti kamus yang eksemplarnya identik (fotocopy), yang akan terbagi di kalangan individu. Jadi, langue adalah sesuatu yang ada pada setiap individu.
Langue bersifat kolektif: bersifat homogen, bahasan konvensional. Rumusnya: 1 + 1 + 1 + 1….= 1. Artinya, kata yang diucapkan oleh individu, diucapkan secara sama oleh orang banyak, begitu juga dengan maknanya, semua masyarakat bahasa tahu. Menurut Alwasilah[8], langue adalah tata bahasa + kosakata + sistem pengucapan. Langue bersifat stabil dan sistematis.
Terbentuknya langue juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya: penjajahan (bahasa) Penjajah mempengaruhi bahasa yang dijajah). Lebih jauh Saussure berpendapat bahwa langue diterima dengan pasif, tanpa memperkarakan dari mana langue tersebut berasal. Misalnya, kata “pinjam”: kita tidak perlu mengetahui dari mana kata ini berkembang dan kita tidak perlu tahu dari bangsa (suku) mana asalnya. Kata “pinjam” ini diketahui oleh semua masyarakat bahasa.
Walaupun kita tidak tahu dari mana asalnya, toh tidak menghambat kita untuk mempelajarinya. Harus diingat bahwa langue berubah, tetapi para penutur tidak mungkin mengubahnya; atau langue tertutup bagi interferensi, tetapi terbuka bagi perkembangan. Tanda-tanda yang membentuk langue bukan benda abstraksi, melainkan benda konkret. Contoh: pohon (yang konkret, ada batangnya, bisa kita lihat) dan “pohon” yang lain adalah bahasa yang terbentuk yang kita ucapkan, kita artikulasikan. Wujud bahasa hanya ada karena ada kerjasama antara penanda dan petanda. Dalam langue, sebuah konsep adalah kualitas dari substansi bunyi seperti suara tertentu merupakan kualitas dari konsep. Maka, konsep rumah, putih, melihat, merupakan bagian dari psikologi. Konsep itu hanya menjadi wujud bahasa jika diasosiasikan dengan gambar akustik (bisa dalam bentuk tulisan juga dalam bentuk bunyi).
6.5.2 Parole
Parole adalah bahasa tuturan, bahasa sehari-hari[9]. Intinya, parole adalah keseluruhan dari apa yang diajarkan orang, termasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur dan pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi ini berdasarkan pilihan bebas juga. Parole adalah perwujudan langue pada individu. Parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Parole bukan fakta sosial karena seluruhnya merupakan hasil individu yang sadar, termasuk kata apapun yang diucapkan oleh penutur; ia juga bersifat heterogen dan tak dapat diteliti. Dalam parole harus dibedakan unsur-unsur berikut.
Pertama, kombinasi-kombinasi kode bahasa (tanda baca) yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya. Misalnya, perang, kataku, perang! Kalimat ini jika diucapkan oleh orang yang sama pun, kata Saussure, ia menyampaikan dua hal yang berbeda pada pelafalan (kata perang pertama dilafalkan secara berbeda dengan kata perang kedua). Kedua, mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan seseorang mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut. Parolelah yang membuat langue berubah: kesan-kesan yang kita tangkap pada saat kita mendengar orang lainlah yang mengubah kebiasaan bahasa kita. Jadi, antara langue dan parole saling terkait; langue sekaligus alat dan produk parole. Bersifat individu: semua perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen dan merupakan perilaku pribadi. Parole dapat dirumuskan: (1’ + 1’’ + 1’’’ + 1’’’’…..). artinya, kata yang sama pun akan dilafalkan secara berbeda, baik orang yang sama maupun oleh banyak orang.
6.6 Sintakmatik-paradigmatik
Selanjutnya, hubungan paradigmatik merupakan hubungan yang menyatakan adanya kemampuan mengganti unsur dalam suatu lingkungan yang sama, sedangkan hubungan sintakmatik adalah hubungan yang menyatakan adanya kemampuan mengombinasikan ke dalam konstruksi yang lebih besar.
Bagi Saussure bahasa menggunakan tanda yang dimaknai secara konvensional. Tanda-tanda bahasa itu disusun dalam rangkaian yang disebutnya rangkaian sintagmatik. Dalam hal ini tanda bahasa ada dalam rangkaian sintakmatik yaitu rangkaian tanda yang berada dalam ruang dan waktu yang sama atau relasi in praesenstia.
6.6.1 Sintakmatik (Horizontal)
Hubungan sintakmatik adalah hubungan yang diperoleh jika satuan-satuan diletakkan bersama dalam satu tindak bicara. Unit-unit kebahasaan dapat digabungkan menjadi bangun yang lebih panjang.
Contoh. Budi menendang bola adalah deretan Budià menendangàbola. Urutan ketiga kata  ini bukan bersifat manasuka tanpa berpatokan pada kaidah (langue) bahasa Idonesia. Arah panah pada contoh tidak hanya  memperlihatkan urutan (bahasa  yang linear)  tetapi hubungan sintaksis subjek—predikatà objek. Meskipun urutan itu diubah, fungsi gramatikal tetap misalnya BolaàBudià tendang; Tendangà bolaàBudi. Terlihat di sini bahwa fungsi gramatikal bahasa tidak selalu terikat pada aspek linearitas. Kata-kata dalam sebuah bahasa berada dalam relasi sintagmatik tersusun dalam sebuah struktur.
Pada kalimat Budi menendang bola  terbentuk dari unsur Budi, menendang, bola yang masing-masing menempati ruang kosong yang kemudian disebut gatra. Kaidah (langue) bahasa Indonesia gatra dapat diisi dengan unsur bahasa tertentu saja. Jadi, gatra adalah ruang kosong  yang terdapat sebelum, di tengah, dan sesudah   panah. Pada contoh kita sebut gatra [1] à [2] à [3]. Dalam sintaksis [1], [2], [3] disebut fungsi sintaksis dan dalam hal ini setiap fungsi itu dapat diisi oleh kata tertentu sesuai dengan kaidah. Dalam contoh yang sama Budià menendangà bola, gatra [1] yang diisi Budi bisa diisi Ali, Candra, Damar, Dia, Mereka, Adik, dll. Tetapi kata-kata itu tidak dapat berada di ruang dan waktu yang sama. Kata-kata itu hanya bisa diasosiasikan  secara in absentia. Hubungan  itu dikatakan hubungan asosiatif atau kata-kata itu berada dalam relasi asosiatif.  Kata-kata yang mengisi gatra tergolong kata sejenis atau disebut berada dalam paradigma yang sama. Hal yag sama bisa berlaku untuk kata menendang bisa diisi kata mengambil, melempar, menyembunyikan, membuang;  bola bisa isi dengan kata batu, kelapa, piring. Relasi asosiatif ini kemudian disebut relasi paradigmatik. Pada tataran langue stiap penutur  bahasa menguasai  semacam piranti atau jejaring unsur-unsur bahasa yang tergolong-golong dalam paradigma  dan unsur-unsur itu saling membedakan. Jejaring inilah ang disebut sebagai sistem bahasa.

6.6.2 Paradigmatik (vertikal)
Hubungan paradigmatik adalah hubungan derivatif atau inflektif serangkaian bentuk jadian dengan bentuk dasar dari unit bahasa. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antarelemen yang dapat saling menggantikan dalam slot yang sama dalam struktur kebahasaan, seperti yang tampak pada matriks dibawah ini.
Budi (S)
Menendang (P)
Bola (O)
S
Ali
P
memotong
O
kayu
S
Candra
P
memukul
O
kucing
S
Damar
P
menendang
O
Batu
S
Dia
P
mengambil
O
roti
S
Mereka
P
melempar
O
mangga
S
Ibu
P
menjahit
O
baju
S
......
P
.......
O
......

7. Aliran Lain yang mengembangkan Konsep Struktural
Pendekatan ini juga diikuti oleh sarjana-sarjana pada dekade berikutnya, seperti Franz Boas (1858–1942) sarjana Antropologi Amerika kelahiran Jerman; Edward Sapir (1884 – 1939) sarjana Antropologi dan Linguistik; dan Leornard Bloomfield (1887 – 1949) sarjana Linguistik yang akhirnya tergabung dalam aliran linguistik struktural. Para sarjana tersebut mengembangkan kajian bahasa pada bahasa lain yang belum pernah diselidiki sebelumnya, bahkan mengembangkannya dengan membentuk aliran-aliran baru dalam kajian linguistik. Aliran yang berafiliasi pada aliran stuktural ini antara lain
Aliran Praha
Aliran praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem Mathesius (1882 – 1945). Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem. Sumbangan aliran ini dalam dalam bidang fonologis (mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem) dan bidang sintaksis dengan menelaah kalimat melalui pendekatan fungsional.
Aliran Glosematik
Aliran Glosematik lahir di Denmark, tokohnya antara lain : Louis Hjemslev (1899 – 1965), yang meneruskan ajaran Ferdinand de Saussure. Hjemslev juga menganggap bahasa sebagai suatu sistem hubungan, dan mengakui adanya hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik. Namanya menjadi terkenal karena usahanya untuk membuat ilmu bahasa menjadi ilmu yang berdiri sendiri, bebas dari ilmu lain, dengan peralatan, metodologis, dan terminologis sendirian.
Aliran Firthian
Aliran firthian, nama John R. Firth (1890 – 1960) guru besar pada Universitas London sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Karena itulah, aliran yang dikembangkannya dikenal dengan nama aliran Prosodi. Nama John R. Firth terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis.
Linguistik Sistemik (Sistemic Linguistics)
Aliran linguistik sistemik tidak dapat dilepaskan dari nama M.A.K Halliday, yaitu salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai bahasa, khususnya yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Sebagai penerus Firth dan berdasarkan karangannya Categories of the Theory of Grammar, maka teori yang dikembangkan oleh Halliday dikenal dengan nama Neo-Firthian Linguistics atau Scals and Category Linguistics. Namun kemudian ada nama baru, yaitu Systemic Linguistics (SL). Pokok pandangan aliran ini adalah: (1) SL memberikan perhatian penuh pada segi kemasyarakatan bahasa (2) SL memandang bahasa sebagai pelaksana (3) SL mengutamakan pemerian ciri-ciri bahasa tertentu beserta variasinya (4)SL mengenal adanya gradasi/kontinum (5)SL menggambarkan tiga tataran utama bahasa.
Aliran Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika
Faktor yang menyebabkan berkembangnya aliran strukturalisme ini (1) masa itu para linguis di Amerika menghadapi masalah yang sama, yaitu banyak sekali bahasa Indian di Amerika yang belum diperlukan (2) Sikap Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan dengan iklim filsafat yang berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu filsafat behaviorisme (3)  Di antara linguis-linguis itu ada hubungan yang baik, karena adanya The Linguistics Society of America, yang menerbitkan majalah Language; wadah tempat melaporkan hasil kerja mereka. Ciri aliran strukturalis Amerika ini adalah cara kerja mereka yang sangat menekankan pentingnya data yang objektif untuk memberikan suatu bahasa. Disebut aliran Bloomfield karena bermula dari gagasan Bloomfield. Disebut juga sebagai aliran taksonomi karena aliran ini menganalisis dan mengklasifikasikan unsur-unsur bahasa berdasarkan hubungan hierarkinya.
Aliran Tagmemik
Aliran ini dipelopori oleh Kenneth L. Price, seorang tokoh dari Summer Institute of Linguistics, yang mewarisi pandangan-pandangan Bloomfeld, sehingga aliran ini juga bersifat strukturalis, tetapi juga antropologis. Menurut aliran ini satuan dasar dan sintaksis adalah tagmem (susunan). Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling diperlukan untuk mengisi slot tersebut.Tagmem ini tidak dapat dinyatakan dengan fungsi-fungsi saja. Seperti subjek + predikat + objek dantidak dapat dinyatakan dengan bentuk-bentuk saja, seperti frase benda + frase kerja + frase benda, melainkan harus diungkapkan kesamaan dan rentetan rumus seperti: S : FN + P : FV + O : FN artinya,  fungsi subjek diisi oleh frase nominal diikuti oleh fungsi predikat yang diisi oleh frase verbal dan diikuti pula oleh fungsi objek yang diisi oleh frase nominal.

 Aliran Tradisional 

Istilah tradisional sering dipertentangkan dengan istilah struktural, sehingga dalam pendidikan formal ada istilah tata bahasa tradisional dan tata bahasa struktural. Kedua jenis tata bahasa ini banyak dibicarakan sebagai dua hal yang bertentangan, sebagai akibat dari pendekatan keduanya yang tidak sama terhadap hakikat bahasa. Tata bahasa tradisional menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik, sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam bahasa tertentu. Dalam merumuskan kata kerja, misalnya, tata bahasa tradisional mengatakan kata kerja adalah kata yang menyatakan tindakan atau kejadian, sedangkan tata bahasa struktural menyatakan kata kerja adalah kata yang dapat berdistribusi dengan frase ”dengan....” (Chaer, 2003:333).
Terbentuknya tata bahasa tradisional telah melalui masa yang sangat panjang, dari zaman ke zaman, mulai zaman Yunani sampai menjelang munculnya linguistik modern sekitar akhir abad ke-19.
(1) Linguistik Zaman Yunani
Studi bahasa pada zaman Yunani mempunyai sejarah yang sangat panjang, yaitu dari lebih kurang abad ke-5 SM. Sampai abad ke-2 M. Jadi kurang lebih sekitar 600 tahun. Masalah pokok kebahasaan yang menjadi pertentangan pada waktu itu adalah (1) pertentangan antara fisis dan nomos, dan (2) pertentangan antara analogi dan anomali (Chaer, 2003:333).
Fisis (alami) mempunyai prinsip abadi dan tidak dapat diubah dan ditolak, sedangkan nomos (konvensi) beranggapan bahwa bahasa bersifat konvensi, makna dari sebuah kata diperoleh dari hasil tradisi atau kebiasaan yang mempunyai kemungkinan bisa berubah.
Pertentangan analogi dan anomali menyangkut masalah bahasa itu sesuatu yang teratur atau tidak teratur. Kaum analogi antara lain Plato dan Aristoteles, berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur. Keteraturan bahasa itu tampak, misalnya dalam bahasa Inggris : Boy-Boys. Sebaliknya, kelompok anomali berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur. Ini dibuktikan dengan kata dalam bahasa Inggris child menjadi children, bukannya childs (Chaer, 2003:334).
Dari studi bahasa kaum Yunani dikenal nama beberapa kaum atau tokoh yang mempunyai peranan besar dalam studi bahasa, yaitu kaum Sophis, Plato, Aristoteles, Kaum Stoik, dan kaum Alexandrian.
Kaum Sophis melakukan kerja empiris, menggunakan ukuran tertentu, mementingkan retorika dalam studi, dan membedakan kalimat berdasarkan isi dan makna. Salah seorang tokoh Sophis adalah Protogaros. Protogaros membagi kalimat menjadi: kalimat tanya, jawab, perintah, laporan, doa, dan undangan. Tokoh lain, Georgias, membicarakan gaya bahasa.
Plato dalam studi bahasa terkenal, karena: memperdebatkan analogi dan anomaly, membuat batasan bahasa, bahwa bahasa adalah pernyataan pikiran manusia dengan perantara onomata dan rhemata, dan membedakan kata dalam onoma (nama dalam bahasa sehari-hari dan nomina/atau nominal dalam tata bahasa, dan subjek) dan rhema (ucapan dalam bahasa sehari-hari, verba dalam tata bahasa, dan predikat).
Aristoteles membagi kata dalam tiga kelas kata, yaitu anoma, rhema, dan syndesmoi. Syndesmoi adalah kata-kata yang lebih banyak bertugas dalam hubungan sintaksis. Syndesmoi itu lebih kurang sama dengan preposisi dan konjungsi yang sekarang kita kenal. Aristoteles juga membedakan jenis kelamin kata (gender) menjadi tiga, yaitu maskulin, feminin, dan neutrum.
Kaum Stoik adalah kelompok ahli filsafat yang berkembang pada permulaan abad ke-4 SM. Dalam studi bahasa kaum stoik, terdapat kajian yang terkenal, antara lain karena: (1) membedakan studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara tata bahasa, (2) menciptakan istilah khusus dalam studi bahasa, (3) membedakan tiga komponen utama dari studi bahasa, yaitu : 1) tanda, simbol, sign, atau semainon, 2) makna, apa yang disebut smainomen/lekton, 3) hal-hal di luar bahasa yakni benda-benda atau situasi, (4) membedakan legein, yaitu bunyi yang merupakan bagian fonologi tetapi tidak bermakna dan propheretal yaitu ucapan bunyi bahasa yang mengandung makna, (5) membagi jenis kata menjadi empat yaitu kata benda, kata kerja, syndesmoi, dan arthoron yaitu kata-kata yang menyatakan jenis kelamin dan jumlah, dan (6) membedakan kata kerja komplek dan kata kerja tak komplek. Serta kata kerja aktif dan pasif.
Kaum Alexandrian menganut paham analogi dalam studi bahasa. Kaum ini menciptakan buku Dionysius Thrax yang menjadi cikal bakal tata bahasa tradisional. Semasa dengan zaman Alexandrian, di India hidup seorang sarjana Hindu yang bernama Panini, telah menyusun kurang 4.000 pemerian tentang struktur bahasa Sansekerta dengan prinsip-prinsip dan gagasan yang masih dipakai linguistik modern. Karena itulah Panini dianggap sebagai one of greatest monuments of the human intelligence oleh Leonard Bloomfield.
(2) Linguistik Zaman Romawi
Zaman Romawi merupakan kelanjutan dari zaman Yunani. Tokoh pada zaman Romawi yang terkenal antara lain, Varro (116-27 SM) dengan karyanya, De Lingua Latina dan Priscia dengan karyanya Institutiones Grammaticae.
Varro dalam bukunya yang berjudul De Lingua Latina masih membahas masalah analogi dan anomali seperti pada zaman Stoik di Yunani. Buku De Lingua Latina terdiri dari 25 jilid. Buku ini dibagi dalam bidang-bidang etimologi, morfologi, sintaksis.
Tata bahasa Priscia dianggap sangat penting karena merupakan buku tata bahasa Latin paling lengkap yang dituturkan pembicara aslinya dan teori-teori tata bahasa yang merupakan tonggak-tonggak utama pembicaraan bahasa secara tradisional. Segi yang dibicarakan dari buku itu adalah: (1) fonologi dibicarakan mengenai huruf/tulisan yang disebut literae/bagian terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan, (2) morfologi dibicarakan mengenai dictio/atau kata, (3) sintaksis dibicarakan mengenai oratio yaitu tata susunan kata yang berselaras dan menunjukkan kalimat itu selesai. Buku Institutiones Grammaticae ini telah menjadi dasar tata bahasa Latin dan filsafat zaman pertengahan (Chaer, 2003:341).
(3) Linguistik Zaman Pertengahan
Studi bahasa pada zaman pertengahan mendapat perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik. Pada zaman pertengahan ini, yang patut dibicarakan dalam studi bahasa antara lain adalah peranan Kaum Modistae, Tata Bahasa Spekulativa, dan Petrus Hispanus (Chaer, 2003: 341).
Kaum Modistae menerima analogi karena menurut mereka bahasa itu bersifat reguler dan universal. Mereka memperhatikan secara penuh akan semantik sebagai penyebutan definisi bentuk-bentuk bahasa, dan mencari sumber makna, maka dengan demikian berkembanglah bidang etimologi pada zaman itu.
Tata Bahasa Spekulativa merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin ke dalam filsafat skolastik. Menurut Tata Bahasa Spekulativa, kata tidak secara langsung mewakili alam dari benda yang ditunjuk.
Petrus Hispanus, memasukkan psikologi dalam analisis makna bahasa, membedakan nomen atas dua macam yaitu nomen substantivum dan nomen edjektivum, membedakan semua bentuk yang menjadi subjek/predikat dan bentuk tutur lainnya.
(4) Zaman Renaisans
Zaman Renaisans dianggap sebagai zaman pembukaan abad pemikiran abad modern. Dalam sejarah studi bahasa ada dua hal pada zaman renaisans ini yang menonjol yang perlu dicatat. 1) Sarjana-sarjana pada waktu itu menguasai bahasa Latin, Ibrani, dan Arab, 2) Bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk pembahasaan, penyusunan tata bahasa, dan perbandingan.
(5) Menjelang Lahirnya Linguistik Modern
Masa antara lahirnya linguistik modern dengan masa berakhirnya zaman renaisans terdapat satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah studi bahasa. Tonggak yang sangat penting itu adalah dinyatakannya adanya hubungan kekerabatan antara bahasa Sansekerta dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya yang telah membuka babak baru sejarah linguistik, yakni dengan berkembangnya studi linguistik bandingan atau linguistik historis komparatif, serta studi mengenai hakekat bahasa secara linguistik terlepas dari masalah filsafat Yunani Kuno.
Bila disimpulkan, pembicaraan mengenai linguistik tradisional dapat dikatakan bahwa:
1) Pada tata bahasa tradisional ini, tidak dikenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran dengan bahasa tulisan. Oleh karena itu, deskripsi bahasa hanya bertumpu pada tulisan.
2) Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil patokan-patokan dari bahasa lain, terutama bahasa Latin.
3) Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara perspektif, yakni benar atau salah.
4) Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan melibatkan logika.
5) Penemuan-penemuan terdahulu cenderung untuk selalu dipertahankan (Chaer, 2003:345).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar